PART 25

439 44 0
                                        

Sulit memang, namun jika kamu tidak ingin dikecewakan, jika kamu ingin berhenti menahan rasa sakit itu maka ada saatnya kamu perlu belajar untuk berhenti menaruh harapan kepada setiap hal.

-POLARIS-

...

Yui akui tanpa adanya rasa sakit seorang manusia tidak akan dapat tumbuh menjadi manusia yang kuat, tanpa adanya rasa sakit manusia tidak akan dapat tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, dan tanpa rasa sakit pula kita tidak akan pernah mengetahui apa makna kebahagiaan yang sesungguhnya.

Beruntunglah rasa sakit tidak pernah menyerah untuk hadir di dalam kehidupan manusia, ia akan terus menghampiri untuk memberikan sebuah pelajaran meskipun berungkali ditolak mentah-mentah oleh si pemilik masalah tersebut.

Namun, bukankah wajar bagi seseorang untuk berada di puncak lelahnya dan ingin beristirahat sejenak dari masalah itu?

Adakalanya seseorang ingin membutuhkan orang lain, menginginkan ada seseorang yang mengulurkan tangan dan membantunya untuk bangkit. Manusia tidak bisa berdiri sendiri, bukankah itu wajar selagi masih dalam batasannya?

Ya, setidaknya itulah yang Yui rasakan saat ini.

"Te..."

Pemilik suara kecil yang melengking itu kini terdengar rendah, gadis itu seolah tengah merengek, memerhatikan seseorang di hadapannya dengan penuh harap. Nuansa rumah sakit berwarna putih seolah mengelilingi dua perempuan itu terlihat begitu sepi hanya ada beberapa perlatan serta perabotan besar yang bisa di hitung dengan jari. Bau obat yang kini tak asing lagi di indera penciuman kedua orang itu seolah menyeruak tercium begitu pekat.

"Yui mohon."

Yui mengangkat kedua alis. Percayalah, siapapun yang mengenal dekat dengannya pasti akan mengatakan seolah Yui yang sekarang bukanlah seperti Yui dulu yang dikenal. Tak ada sorot mata yang begitu ceria, berlari kecil dengan lincah, dan nada suara yang begitu riang.

Semua terdengar rendah, sayu, seolah dirinya tengah kehilangan arah dan berjalan menuju ke relung yang gelap. "Yui mau obat-obat itu lagi, Yui enggak peduli berapa banyak yang penting penyakit ini hilang dari tubuhku."

"Tidak," Embusan napas panjang terdengar, perempuan paruh baya dengan jas putihnya itu menyandarkan punggung di kursi seraya memerhatikan keponakannya yang baru saja usai pulang dari sekolah. "Tante enggak bisa Yui."

"Kenapa enggak?" Pemilik mata bulat itu mengernyit seketika seolah memerhatikan perempuan paruh baya itu dengan setengah pandangan menuntut. Menuntut? Mungkin iya, namun sorot takut seolah lebih mendominasi dibandingkan rasa ingin menuntut itu.

"Bukannya Tante dokter?" tanya Yui menuntut. "Tante hebat dalam melakukan apapun kan? Tante bisa menyelamatkan orang lain dengan cepat, berkomunikasi dengan mereka, dan membuat mereka seakan hidup kembali. Tapi..."

Napas Yui sekan tertahan, gadis itu menghentikan pembicaraannya sejenak seolah menahan satu bentuk rasa sakit yang menghantam bagian dadanya, seperti ada rasa kecewa yang tidak seharusnya dirasakan apalagi rasa sedih yang harus ditunjukkan secara terang-terangan. "Aku hanya ingin Tante menyelamatkanku. Aku tidak ingin yang lain. Kenapa tidak bisa?"

"Yui," Yui terdiam, gadis yang tengah berusaha menahan air di matanya itu mengalihkan pandangan, menahan napas. Suara perempuan paruh baya terdengar begitu tegas, untuk kesekian kalinya suara embusan napas panjang terdengar dari seberang meja seraya melepaskan stetoskop yang bergantung di lehernya. "Tante cuma manusia biasa, mengertilah."

Yui menggeleng, masih mengalihkan pandangan memerhatikan pintu ruangan yang tertutup rapat. "Bagiku Tante adalah orang yang paling hebat selain Senior, Papa, dan Mama."

"Yui," Perempuan itu menyeret kursi, duduk di samping Yui seraya mencengkram erat kedua bahu gadis kecil itu. "Ada beberapa hal yang bisa dilakukan manusia, ada pula yang tidak. Mungkin kamu harus mengerti, tugas dokter memang menyelamatkan kehidupan manusia tapi tidak semua manusia yang bisa diselamatkan. Mereka hanya bisa berusaha melakukannya dengan cara yang maksimal."

Yui terdiam tanpa berani membalas tatapan tegas itu sekarang.

Jika saja ada manusia yang berbaik hati ingin menghitung berapa kali perempuan paruh baya itu mengembus napas panjang, mungkin Yui akan meminta tolong untuk menghitungnya dan sayang sepenasaran apapun dirinya ia tidak akan pernah bisa menemukan jawaban tersebut. "Yui..."

Kedua alis Yui terangkat. Dapat ia rasakan perempuan paruh baya itu mengangkat kedua sudut bibir dengan terpaksa seraya semakin mempererat cengkramannya. "Seandainya Tante mempunyai kekuatan seperti yang kamu bilang, mungkin kita tidak akan seperti ini."

Yui mengernyit, mata bulat yang berair itu kini mengerjap polos.

"Papa Mama kamu, Om sama anak Tante mungkin kita masih bisa berkumpul dengan mereka," Perempuan itu menelan ludah sejenak, berusaha mungkin menyengir seraya menyipitkan mata dengan senang. "Tapi enggak apa, meskipun mereka pergi, selagi kita masih berdua semuanya akan baik-baik saja."

"Tante bohong," sambar Yui langsung, memerhatikan perempuan itu seraya tersenyum sinis. "Sama sepertiku."

Yui memerhatikan perempuan itu dengan sungguh. "Tante sedang tidak baik-baik saja sekarang sama sepertiku. Tante tahu aku tidak akan lama hidup di sini tapi Tante berusaha menepis kenyataan itu sama sepertiku."

"Memang aku selalu mengatakan baik-baik saja, aku berusaha meyakinkan diri bahwa setiap orang pasti akan mati dan aku harus mengerti akan hal itu, tapi..." Bibir kecil itu terangkat, secepat mungkin Yui mrnggigitnya begitu merasakan bibir bawah itu bergetar, bersamaan dengan air yang semakin menggenangi kedua pelupuk matanya.

"Tapi di sisi lain..." Yui menggeleng, mata itu semakin membulat seolah mencoba menepis kenyataan yang sesungguhnya. "Aku takut. Aku mau seperti anak-anak lainnya," gumam Yui, menahan napas, suara itu terdengar lirih, begitu lirih.

"Aku mau jalan tanpa harus takut untuk tersesat, aku ingin mempunyai teman tanpa harus takut bahwa suatu saat nanti aku pasti akan melupakannya. Aku tidak mau."

"Yui, Tante mengerti perasaanmu," Perempuan itu tersenyum seraya mengusap puncak kepala Yui dengan lembut. "Kau telah menemukan tujuan hidupmu ya?"

Yui mengangguk pelan menunduk.

Perempuan itu tertawa pelan, meskipun dari dalam tak ada yang tahu perempuan itu tengah menahan rasa sesak yang luar biasa. "Meskipun obat dari orang yang menderita penyakit yang sama denganmu belum bisa ditemukan, tapi setidaknya kita harus sama-sama berusaha, kau berusaha untuk terapi dan melambatkan pergerakan virus itu dan Tante akan berusaha untuk menemukan bagainana cara menyembuhkannya, bagaimana?"

Yui tersenyum samar, mengangguk pelan. Lagi-lagi kalimat itu hanya untuk membuatnya tenang, dan konyolnya dirinya ingin begitu cepat sembuh padahal bisa saja waktu untuk menyembuhkan penyakit itu jauh lebih lama dari yang diperkirakan.

Seandainya saja memang bisa begitu cepat, seharusnya tidak ada orang yang mati perlahan-lahan karena mengidapnya, mulai dari fisik yang tidak bisa digerakkan lagi lalu berakhir pada ingatan yang lumpuh dan tak bisa diminta untuk kembali.

"Aku akan berusaha," ucap Yui, memerhatikan pemilik mata cokelat di hadapannya dengan meyakinkan. "Sesakit apapun rasanya, sesulit apapun caranya akan aku lalui, aku hanya ingin terus bertahan hidup."

"Ya," Perempuan itu mengangguk semangat, bangkit dari bangku seraya membenarkan jas putihnya. "Siap untuk pemeriksaan kembali?"

Yui mengangguk, menyengir puas. Meskipun dalam hatinya gadis itu terus mengatakan...

Disaat-saat seperti ini, sungguh dirinya tidak tahu perbedaan antara pantang menyerah dan ingin melarikan diri dari kenyataan yang sesungguhnya.

🍁🍁🍁

POLARIS [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang