PART 29

427 42 2
                                        

Mungkin pada akhirnya aku hanyalah orang yang bisa berbicara. Aku hanyalah orang yang memberikan nasehat kepadamu namun apapun yang kuucapkan tak berlaku untuk diriku.

Maaf.

-POLARIS-

...

"Jawab pertanyaanku."

Yui menunduk, diam-diam mata bulat itu mengerling memerhatikan Senior, masih tampak tegas seolah-olah menuntut setiap jawaban atas pertanyaan yang berkumpul di kepalanya. Suara bass itu terus melantunkan nada tanya dan sementara Yui? Ya, gadis itu hanya bisa menunduk, duduk di bangku koridor, tidak berniat memenuhi rasa penasaran itu. Hanya diam, tenggelam di dalam dunianya.

"Yui," panggil Senior kembali, jauh lebih tegas dibandingkan sebelumnya. "Untuk kesekian kalinya aku ingin kau menjawab pertanyaanku."

"S-senior sendiri kenapa mengikutiku?" tanya Yui balik berusaha mungkin mengalihkan pembicaraan. Nihil, Senior bukanlah orang yang mudah dialihkan pikirannya.

"Karena aku peduli denganmu," ucap suara bass itu datar, lalu menyandarkan punggung di kursi besi sesekali mengembus napas panjang memerhatikan Yui di sampingnya dengan sabar. "Sekarang gantian jawab pertanyaanku, sebenarnya kau sakit apa? Kau aneh beberapa minggu ini, terserah kau masih menganggapku atau tidak yang pasti kau tetap temanku."

Yui menggeleng pelan, sepuluh jarinya ia biarkan mencengkram ujung dudukan kursi dengan erat. "Bukan urusan Senior," ucap Yui mengalihkan pandangan, enggan menatap pemilik wajah bundar tersebut.

Setengah kesal-mungkin lebih tepatnya kesal pada diri sendiri- akhirnya Senior berdecak. Mengacak ujung rambut dengan kuat lalu membenamkan wajah di kedua tangan sejenak sebelum kembali berbicara. "Baiklah, tapi biar kutebak, dari ruangan yang kau masuki dan sifatmu yang tidak biasa beberapa minggu ini berhasil membuatku menyimpulkan sesuatu."

"Jangan berani menyimpulkan sesuatu kalau Senior belum tahu kebenarannya."

Nihil, Senior tidak memedulikan ucapan Yui. Terkadang ingin rasanya Yui bertanya mulai sejak kapan Senior seperti ini? Berbicara panjang, peduli dengannya, sampai bersikap seperti ini.

"Alzhaimer," ucap suara bass itu memperjelas. Sontak Yui menoleh memerhatikan wajah bundar itu setengah tidak percaya. Masih dengan ekspresi datarnya laki-laki itu kembali berbicara. "Sebenarnya aku tidak yakin, tapi melihat reaksimu seperti ini aku jadi tahu jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di kepalaku."

"Pertama kejadian di bus, aku mulai curiga denganmu. Kedua, kau yang tiba-tiba ingin mengikutiku ke makam Mama, dan ketiga, sikapmu yang akhir-akhir ini tidak terkendali mau tak mau membuatku harus mencari informasi."

Yui membungkam. Suara embusan napas panjang terdengar, Senior bangkit dari bangku, berjongkok, agar memerhatikan wajah gadis itu dengan jelas. Ekspresi yang tidak peduli meskipun memiliki rasa ingin peduli, ekspresi yang dibiarkan terlihat padahal tengah menutupi rasa sakit di dalam hati.

Perlahan kedua sudut bibir Senior terangkat lembut. Seperti apapun cara menutupinya, pecayalah, Yui tidak akan bisa berbohong kepadanya. "Yui, bisa lihat aku sebentar?" Yui menahan napas, kini gadis itu mencengkram lutut dengan erat seraya memerhatikan wajah Senior di hadapannya. Kedua alis tebal Senior terangkat. "Kenapa kau tidak memberitahunya?"

"Untuk apa?" tanya Yui. Berusaha mungkin gadis itu mengalihkan pandnagan, namun mengingat Senior yang begitu peka mencium bau kebohongan berusaha mungkin niat itu Yui hentikan.

"Senior bukan lagi temanku. S-Senior..." Yui menahan napas, secepat mungkin gadis itu menelan ludah begitu merasakan tenggorokannya yang tercekat, berusaha mengembalikan suaranya yang terdengar pecah. "Senior hanya orang asing bagiku."

POLARIS [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang