Mungkin manusia harus merasakan kehilangan agar tahu betapa pentingnya arti hidup yang sesungguhnya.
-POLARIS-
...
Mungkin dalam hidup, manusia memang membutuhkan seseorang. Seseorang yang begitu berharga, seseorang yang begitu berarti dan tidak pernah terlupakan. Dengan adanya seseorang, manusia akan menjadi lebih hidup, mereka seolah-olah menjadi manusia seutuhnya yang tidak peduli akan rasa sakit, perih dan yang terpenting hanyalah keselamatan seseorang disayanginya.
Mungkin itulah yang dirasakan keduanya. Baik Yui maupun Senior menahan rasa itu diam-diam. Suatu rasa hangat, nyaman, dimana keduanya merasa begitu berarti antar satu sama lain. Seandainya bisa, seandainya saja kedua orang itu boleh egois maka keduanya tidak akan ingin dipisahkan, akan terus bersama, saling menjaga dan memberikan kasih sayang tanpa batas.
Tapi bukankah harapan jauh lebih sering dihempaskan oleh realita?
"Kau tidak apa-apa Yui?"
Yui yang sedari tadi menunduk kini mengangkat kepala. Ini sudah hari ke tujuh setelah pergi ke taman bermain, tidak ada yang menyangka perubahan Yui seolah begitu cepat, suasana hati gadis itu lebih sering berubah dan cenderung tidak dapat dikendalikan. Gadis dengan seragam rumah sakit biru muda itu tersenyum tipis masih dengan kertas warna-warni di tangannya.
"Kau mau makan?" tanya Senior kembali, duduk di kursi kecil samping tempat tidur Yui seraya mengulang kembali mading yang sempat dulu dihancurkan Yui.
Kotak kaca telah diganti baru, sambil menempelkan gantungan bintang di atas kotak kecil itu kini Senior mengangkat kepala, memerhatikan gadis berwajah pucat itu tampak begitu lemah namun cenderung dipaksakan, mulai dari senyum hingga memaksakan diri untuk bertingkah seperti orang normal lainnya.
"Kau belum makan apapun selama satu hari ini."
"T-tidak lapar," jawab Yui terbata, bahkan gadis itu sekarang juga cenderung sulit berbicara panjang, jangankan panjang untuk berbicara pendek mengenai kegiatannya sendiri saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berpikir.
Yui membalikkan badan, gadis itu mengangkat bantal sejenak mengambil satu buku kecil biru mudanya. Ya, scrapbook kesayangannya, scrapbook yang berisi coretan, foto dan lainnya. Yui menjulurkan tangan, menghadapkan buku kecil tersebut di hadapan wajah Senior.
Senior yang sedang meletakkan gunting dipangkuan kini mengangkat kepala, alis tebal laki-laki itu terangkat dipadukan dengan mata tenangnya. Senior... seandainya saja Yui tidak dalam keadaan seperti ini mungkin dirinya akan mengatakan bahwa suatu saat nanti dirinya akan begitu merindukan laki-laki ini. Sangat. Begitu sangat.
Karena yang Yui tahu, pertemuannya dengan Senior adalah sebuah kesalahan yang mengandung makna kebahagiaan di dalamnya. Dirinya seorang Yui sudah memberikan cahaya yang begitu besar begitu juga kegelapan yang begitu dalam.
"Untuk apa?" tanya Senior, melirik buku lalu beralih kepada Yui.
"Untuk k-ka..." Yui mengernyit, tampak bingung sekaligus takut begitu menyadari dirinya sulit mencari kata ganti orang. Kamu? Senior? Percayalah kedua kata itu sama sekali tidak terpikirkan oleh Yui.
"Kau memintaku untuk membacanya?" tanya Senior, berusaha menebak.
Yui menggeleng cepat. Tidak hentinya menyodorkan buku itu. Senior menoleh memerhatikan cengkraman Yui yang begitu erat pada buku, tangan gadis itu tampak bergetar seraya menunduk, seolah memohon. Tapi, memohon untuk apa?
"Bawa," ucap Yui tercekat. "Ini untuk..."
"Ah!" Berusaha mungkin Senior tersenyum puas, mengambil buku dari tangan Yui lalu meletakkan kepangkuannya. Dijulurkan sebelah tangan seraya mengusap puncak kepala Yui dengan hangat. Berharap semoga gadis itu tidak kalut dalam penyakitnya. "Makasih ya? Kau baik sekali."
Yui tersenyum tipis, mengangguk. Tak lama bola mata bulat itu terangkat, melirik Senior diam-diam. "Nama..." ucap Yui.
Senior mengernyit, seolah tidak bisa mengaitkan ucapan Yui, laki-laki itu kini meminta petunjuk lebih. "Siapa aku panggil?" tanya Yui lagi.
"Hah?" Kedua alis tebal Senior nyaris menyatu. Laki-laki itu kembali berpikir mencoba memahami ucapan Yui. Tidak lama tawaan terdengar dari suara bass itu lalu menyengir, memerlihatkan deretan gigi putihnya di hadapan Yui. "Namamu Yui, biasanya aku memanggilmu Yui. Kau adik kelasku, dulu kau selalu mengikuti kemana saja..." jelas Senior, menahan napas.
Merasa ada perasaan tidak enak dalam tubuhnya secepat mungkin laki-laki itu tertawa pelan seraya memijit kedua ujung alis berusaha untuk menenangkan diri. "Dulu kau sering mengikutiku ke perpustakaan, membantuku, bahkan kau sering memarahi anak-anak yang meremehkanku. Heran, padahal kau tidak seharusnya seperti itu, biarkan saja mereka berbicara sesuka hati bagaimana juga aku akan mengabaikannya."
Yui menggeleng kuat, menepis penjelasan Senior. Bukan hanya dari akhir namun juga dari awal dimana sebuah jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.
"Nama..." ucap Yui terbata, memerhatikan Senior dengan ragu. "Kamu, maaf..."
Senior...
Laki-laki itu mengerjapkan mata, untuk berapa kalinya menahan napas berusaha mungkin menahan segala jenis perasaan yang saling bertumpuk di dadanya seraya meminta untuk dikeluarkan. Senior mengulurkan tangan, Yui menoleh tampak laki-laki itu menyipitkan kedua mata dengan senang. "Kenan Andrian."
Yui memiringkan kepala, mengulurkan sebelah tangannya dengan perlahan, membalas jabat. "Kenan?"
Laki-laki itu mengangguk. "Wajar saja jika kau tidak hafal dengan namaku. Kau sering memanggilku Senior ketika bertemu."
"Senior..." gumam Yui.
"Ya?" Kenan tersenyum mengangkat kedua alis.
"Maaf," Yui menunduk, gadis itu menautkan kesepuluh jari pada bantal di pangkuannya dengan gelisah. Senior menoleh, mendadak saja kedua alis tebal itu mengernyit seketika begitu memerhatikan Yui. "Ak-aku menyusahkan, aku tidak pantas menjadi teman Senior."
Senior menggeleng, mencondongkan tubuh. "Yui, ti..."
Tangan ditepis dengan kuat, belum sempat dirinya ingin menenangkan Yui, gadis itu sudah terlebih dahulu membulatkan mata tampak begitu kacau seraya menarik rambut hitam sebahu itu dengan erat.
"Yui..." Buru-buru Senior menenangkan. Mengamankan gunting di pangkuan, meletakkan kertas warna-warni yang berada di meja kecil serta di tempat tidur gadis itu.
Yui berteriak, gadis itu menangis kencang. Kenan menggertak gigi, kedua mata bundar yang biasa tampak tenang kini mulai menunjukkan rasa takutnya. Takut? Tidak juga, ia hanya merasa miris, mungkin sedikit rasa kasihan bagaimana bisa seorang Yui yang begitu ceria, selalu tertawa dalam situasi apa saja bisa menjadi seperti ini?
Ya, tampak begitu kacau dan berantakkan, dan lagipula kenapa orang yang bisa menghargai setiap hal kecil seperti Yui harus mengalami hal seperti ini? Tidak adil bukan?
Yui menggeleng kiri kanan, gadis itu tampak risih dengan tubuhnya, secepat mungkin Kenan mendekap tubuh kecil itu dengan susah payah begitu Yui ingin melepaskan beberapa selang baik dari hidung maupun punggung tangan kecil itu.
"Berhenti Yui," Suara bass Kenan berbicara pelan, mendekat ke telinga Yui demngan sedikit harapan semoga gadis itu mendengarnya, merespon ucapannya, dan mematuhi apa yang dikatakannya. Namun yang ada? Nihil, bagaimana pun juga Yui sudah mengingatkan, pada akhirnya tubuh kecil itu akan dikendalikan oleh virus-virus itu 'kan?
Dan benar, Kenan tidak pernah menyangka benar-benar ada hari dimana Yui yang sekarang bukanlah seutuhnya menjadi Yui lagi.
"Aku mohon," gumam Kenan bergetar, mencengkram bahu Yui dengan erat setengah membenamkan wajah di puncak kepala gadis yang berada di dekapannya. "Aku mohon jangan menjadi seperti ini."
Jika saja ada seseorang yang dapat mengabulkan harapannya, mungkin lebih baik bila ia menanggung penyakit gadis itu sekarang.
___
Thank's for reading! I hope you enjoy it!
![](https://img.wattpad.com/cover/167162740-288-k943399.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
POLARIS [LENGKAP]
Ficção Adolescente"Pada akhirnya kita sama-sama melangkah, menuju dunia baru yang sama-sama saling melindungi dan tanpa sadar saling menyakiti." ... Gadis itu percaya akan adanya hujan sebelum matahari bersinar cerah. Gadis itu percaya manusia harus jatuh lebih dahul...