Rasa yang Pudar

203 22 0
                                    

    Mentari telah muncul dengan eloknya dari pelukan awan. Burung-burung Puntang mulai bersenandung ria.

   Hari ini adalah hari kedua mereka di Puntang. Selama beberapa waktu Senja terkesima dengan pemandangan Puntang pagi hari.

   "Heh,bengong aja lo!" El datang menghampirinya yang sedang terduduk di batu besar dekat tenda.

   "Bukan bengong,gue lagi termenung."

  "Sama aja goblok! " Balasnya.

   "Sa ae atuh. Ngga usah nge-gas gitu." Senja mencubit pipinya.

   "Abis ini kita kemana,Ja?" Tanyanya kemudian.

   "Abang bilang sih balik, katanya cuaca besok ngga bagus buat muncak."

  Terlihat raut muka kecewa milik El. Tapi dia bukan tipe orang yang suka protes,ia hanya diam setelahnya.

    "Lo ngga beresin barang lo? Lo mau jadi batu disitu terus?" Ucap Luke yang terlihat membawa ransel.

   Tanpa menjawab Senja segera kembali ke tenda dan membereskan semua barangnya.

   Lantas ia memakai mantel tebalnya,semakin pagi semakin dingin cuacanya.

   06.15

   Terlihat Mang Ateng yang telah sampai untuk menjemput mereka.Mang Ateng tak datang sendirian,ia bersama seorang anak kecil.

   Setelah semua tim membawa ranselnya masing-masing,kemudian mereka perlahan meninggalkan puncak Mega Puntang.

   Senja sendiri tidak banyak berbicara,kebanyakan bersenandung ria dan hanyut dalam pemandangan indah disekitarnya.

   Sebenarnya Senja tidak setuju pulang hari ini. Tapi bagaimana lagi,cuaca hambatannya. Jika bukan karena cuaca,ia sudah merengek pada Luke sejak tadi.

   "Jangan cemberut terus dong. Besok gue ajak jalan deh. " Fajar mendekat dan sedikit berbisik pada gadis yang ada di sebelahnya

   Senja terdiam.

   "Gimana,mau nggak?"

   "Gue mau sih,tapi Andrean?" Senja menjawab canggung,takut menyakiti perasaan Fajar.

   "Yaudah gini aja,nanti lo tanyain sama pacar lo,kalo emang lo mau jalan sama dia yaudah gue ngalah. Lagian kita ketemu kan setiap hari." Sarannya panjang lebar.

   "Oke deh." Senja menanggapinya singkat.

   Sebenarnya Senja tak perlu meminta ijin pada Andrean. Sudah tentu laki-laki itu sibuk dengan teman-temannya.

   Tapi jika dia tidak meminta ijin,bisa kacau nantinya.

   "Hhh udaranya makin dingin aja deh Jar." Phobia Senja mulai kambuh.

   "Mantel segitu masi kurang,Ja? Lagian kan tubuh lo udah ketutup banyak lemak." Fajar mencubit pipi tembam Senja dan segera berlari.

   "Jangan ngeledekin ya! Gue tu uda kurus tau nggak!" Senja turut mengejarnya.

   Mereka mendahului yang lain.

   Senja terhenti. Nafasnya tersengal-sengal. Ia terduduk di sebuah batu.

   "Senja! Lo kenapa?" Fajar yang berada jauh di depan segera menghampiri Senja yang tertinggal di belakang.

   "Gue punya asma,Jar."

   "Yaudah sekarang tenangin diri lo,jangan panik lagi." Fajar mempraktekkan ilmu yang pernah didapatnya.

   "Kalo bisa ikat pinggang lo kendorin deh,Ja." Sambungnya.

   Ia pun membantu Senja melepaskan ikat pinggang,tangannya terlalu lemah.

   "Udah rileks? Abis itu coba deh atur pernafasan lo. Ambil nafas lewat hidung,tahan bentar,terus keluarin lewat mulut."

    Senja jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia terkesima dengan kegesitan Fajar.

    Sementara Senja mengatur nafasnya,Fajar membantu memijat tengkuk lehernya.

    "Makasi ya jar. Biasanya abang aja ngga bisa nanganin gue sendirian."

    "Tau mana lo kayak ginian?" Tanya Senja kemudian.

   "Gue dulu kapten basket. Kebetulan anggota gue ada yang punya asma. Jadi setiap latihan,gue pasti yang nanganin. Yaudah deh jadi kebiasaan." Terangnya jelas.

    Senja tertawa.

    "Ngapain lo ketawa? Ngeledekin ya?"

   "Ngga gitu Jar,yang kayak lo gini bisa main basket juga ya?" Senja meledek.

    "Mau gue kejar lagi nih?" Goda Fajar yang terlihat mulai kesal.

   "Eh nggak jangan! Ntar asma gue kambuh lagi mau lo?" Jawab Senja kembali melontar amunisi yang membuatnya terdiam. Skakmat.

    Fajar mengacak-acak rambut panjang Senja gemas. Kalau dilihat-dilihat,Fajar memang cocok menjadi kapten basket. Tubuhnya yang tinggi semampai dan badannya yang begitu kekar.

    "Lo kuat ngga ngelanjutin perjalanan? Rombongan udah mau keliatan tuh dari sini." Tanya Fajar kemudian.

    Senja menggeleng lemah,biasanya setelah asmanya kambuh dia akan tertidur.

   "Sini naik pundak gue."

    "E-eh ngapain?"

     "Gue gendong lah,masak gue tendang. Uda cepetan naik." Perintah Fajar.

    Senja yang tersenyum geli segera naik ke pundaknya.

    "Tau ngga lo? Lo itu cewek pertama yang gue gendong. Mana berat lagi." Celoteh Fajat ketika mereka sudah setengah perjalanan turun.

    "Ya salah sendiri lo gendong gue. Kan gue ngga minta."

    "O gitu,gue turunin sekarang nih? Gue gelindingin aja lo biar cepet sampe bawah. Mau lo?" Ucapnya yang berhasil membuat Senja tertawa lepas.

    "Ih gue bercanda tau." Senja menepuk pundaknya kesal.

    Setelah mereka berjalan beberapa menit lagi,mereka sudah sampai di Stasiun Radio Malabar.

    Tapi kali ini mereka hanya melewatinya.

    Hanya beberapa ratus meter jarak dari Stasiun Radio Malabar dan parkiran. Mereka semua pun sudah sampai.

   Senja segera turun dari pundak Fajar. Ia dapat melihat raut muka Fajar yang begitu lelah. Hal itu membuatnya tertawa geli kemudian.

    "Makasi ya uda gendong gue sampe bawah." Ucap Senja sembari tertawa ringan.

   "Kalo lo bukan sahabat gue,udah pasti  sekarang lo udah babak belur gue gelindingin tadi."

   Tiba-tiba telpon Senja berdering. Andrean yang menelponnya. Ia segera menjauh dari rombongan dan mencari tempat yang sunyi.

    "Ada apa,Ndre?" Jawabnya agak judes.

    "Gini Ja,sebelumnya sori banget ya. Tapi temen-temen lama gue ngajakin jalan lagi. Sori ya?"

   "Oke.Ati-ati ya." Tanpa menunggu jawaban dari Andrean,Senja menutup telepon.

   Seperti pasir di laut,lambat laun ia akan hilang terseret ombak.

   Begitu pula batu,lambat laun ia akan rapuh tergerus hujan.

   Maka seperti itulah cinta,lambat laun akan hilang jika tidak dijaga.

Buat temen-temen harap maklum ya kalo updatenya jarang banget sekarang.

Author lagi hiatus,bentar lagi masuk sekolah lagi.

Makanya terus stay tune ya biar ngga ketinggalan cerita!

  

  

   

  

   

Aku Jarak dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang