~☆~
Lentera itu sudah tua. Tapi, salahkah jika ada harapan untuknya bisa menyinari? Meski aku tahu, cahayanya tidak seterang dahulu.
~☆~
Kelina turun dari taksi tepat di depan rumah yang sangat sederhana dengan perkarangannya yang luas. Kicauan burung haluan menyambut Kelina. Itu rumah lama Kelina. Rerumputan hijau dengan di kelilingi tanaman bunga menghiasi halaman rumah.
Seorang wanita paruh baya tampak tengah menjemur pakaian di sisi halaman sana. Kelina dengan senyum yang cukup lebar bergegas menghampirinya.
"Bude Nami."
Tepat setelah Kelina berada di sampingnya, wanita paruh baya yang Kelina panggil namanya itu menoleh.
"Lina? Ya ampun. Kok gak bilang mau ke sini?" Pelukan hangat langsung Kelina dapati di sana.
Kelina tersenyum. "Biar kejutan, Bude."
"Kan bisa Bude jemput kalau Lina bilang mau kesini. Ayo, masuk." Nami langsung beralih membawa koper Kelina ke dalam rumah. Kelina ikut mengekori.
"Mama mana, Bude?"
"Mama kamu di kamar. Lagi istirahat."
"Tapi, Mama baik-baik aja kan, Bude?"
Nami terdiam sesaat, tidak menjawab pertanyaan Kelina. Kelina bisa membaca raut wajah Nami. Tanpa ditanya pun sebenarnya Kelina tahu mamahnya itu tidak baik-baik saja.
"Lina mau makan apa? Bude masakin ya?" Nami langsung mengalihkan pembicaraan.
Kelina tersenyum tipis menanggapi Budenya itu. "Kelina mau ke kamar Mama dulu, Bude."
Kelina beranjak dari tempatnya. Membiarkan kopernya akan dibawa oleh Nami ke kamar lama Kelina.
Tak ada yang berubah dari rumah lamanya ini. Kelina sangat ingat setiap detail kenangan yang ada di rumah ini. Dulu rumah ini sungguh sempurna, jauh sebelum semuanya hancur. Salah satu diantaranya disebabkan oleh Kelina.
Kelina memilih untuk ikut bersama Arsen, dengan alasan Kelina ingin menuntun Arsen, seperti yang Kelina tahu watak ayahnya itu bagaimana. Sekaligus Kelina ingin menebus kesalahannya.
Kelina memasuki sebuah kamar. Seorang wanita kuat tengah berbaring di atas ranjang sana. Kelina mendekatinya.
Itu mamanya. Menderita kanker darah dua tahun terakhir. Rambutnya kini tidak tersisa lagi di kepala wanita paruh baya itu. Wajahnya begitu pucat dan damai dalam pejaman mata.
Kelina mencoba meraih tangan mamahnya. Meletakkan telapaknya pada pipi Kelina. Tapi sepertinya wanita paruh baya itu terbangun.
"Kelina?"
Tari--Mama Kelina tampak berusaha bangkit. Memeluk Kelina di sana.
"Kamu kapan datang, Sayang?"
Kelina tersenyum hangat melihat mamahnya itu. "Baru aja, Ma. Kelina kangen sama Mama."
Tari tanpa segan membalas senyuman itu. "Mama juga kangen sama Kelina. Di sana kamu baik-baik aja kan, sayang?"
"Kelina baik-baik aja, Ma."
"Bagaimana sekolahmu?"
"Nilai Kelina baik."
Tari tersenyum jahil dengan bibir pucatnya. Apapun yang sudah terjadi hingga saat ini, bagi Tari anak perempuannya itu harus menjadi suatu hal yang menyenangkan. Tidak boleh ada kesedihan disana.
"Ok. Ganti pertanyaan. Bukan itu yang Mama maksud. Mama ingin dengar cerita kamu. Teman-temanmu? Atau jangan-jangan kamu udah punya pacar?"
Kelina sedikit membulatkan matanya, tidak percaya. Mamahnya itu memang sangat senang menggoda Kelina.
"Kelina gak punya pacar, Ma ... Jangan menggoda Kelina. Baru kemarin Kelina bertemu pemuda aneh."
Ya. Kelina seketika teringat pemuda jakung itu. Pemuda yang sok tahu dengan menariknya saat ketakutan.
"Siapa itu? Baru calon ya? Nanti kenalin ke Mama ya."
"Mama ... "
~~~
Matahari terasa sudah tidak terlalu terik. Kelina menginjakkan kakinya pada sebuah pemakaman. Dengan pakaian serba hitam dan bunga di genggamannya, Kelina menyusuri gundukan-gundukan tanah di sana.Kelina berhenti saat berjarak beberapa meter dari makam yang ditujunya. Ada seorang laki-laki baru saja beranjak dari tempat makam yang ingin Kelina tuju itu. Kelina tidak mengenalinya dengan jelas. Laki-laki itu memakai kaca mata hitam.
Kelina menghampirinya saat laki-laki itu mulai pergi menjauh.
"Tunggu!"
Kelina berniat mengejar, tapi sepertinya terlambat. Laki-laki itu mempercepat langkahnya. Punggung yang Kelina lihat tadi sudah menghilang. Kelina sedikit mengerutkan dahi, cukup bingung. Tapi akhirnya dia memutuskan berbalik menuju makam yang Kelina maksud di sana.
Benar saja, sudah ada sebuket bunga di atas makam yang Kelina tuju. Tidak salah lagi, laki-laki tadi yang baru saja meletakan bunga di sini.
Ghani Pramudya
Bin
Arsen PramudyaWafat tepat tiga tahun yang lalu. Itu yang tertera pada ukiran nisan di hadapan Kelina saat ini.
"Itu tadi siapa, Kak Ghan?" Kelina masih terpikir oleh laki-laki tadi. Dia meletakkan bunga di genggamannya. Beralih pada sebuket bunga yang bukan darinya itu.
Ada secarik kertas di sana.
- Bintang
Kelina membisu seketika usai melihat satu kata yang tertera di kertas tersebut.
Ya. Kelina tahu siapa itu.
Seseorang yang Kelina tadi pikir sama sekali tidak tahu keberadaannya. Sekarang ia masih di kota lama ini.
------------------------------
A.n :
Bintang siapaaa hayooouu?
*kamu... iya, kamuu...*😗😂Tinggalkan jejak!🙆

KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Ficção Adolescente[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...