Fajar (1)

135 14 3
                                    

Kelina melangkah dengan sedikit cepat menyusuri koridor. Jam pulang sekolah membuat koridor ramai lalu lalang. Banyak yang menyapa Kelina di sana. Dengan senang hati Kelina membalasnya. Namun tetap dia harus segera keluar sekolah. Dia masih meminimalisir bertemu dengan Aftab.

Tepat bel pulang tadi Kelina mendapatkan pesan dari pemuda menyebalkan itu.

Tungguin gue ya.

Begitulah sekiranya pesan dari Aftab. Kelina yakin, pasti Aftab akan mencarinya sekarang. Lagipula mau apa lagi sih pemuda itu ingin menemui Kelina?

Bruk!

"Aduh ... Maaf." Kelina merutuki dirinya telah menabrak seorang laki-laki. Dia dengan cepat membantu laki-laki itu mengambil buku-bukunya yang berjatuhan akibat Kelina.

"Sekali lagi gue--" Kelina seketika terpaku saat menoleh pada laki-laki itu, tidak melanjutkan ucapannya.

"Kak Alde?"

Laki-laki itu juga tampak terpaku, membetulkan letak kaca mata di pangkal hidungnya. Laki-laki itu langsung beranjak dari tempat, meninggalkan Kelina.

"Kak Alde!"

Kelina mencoba mengejarnya. Tapi, sosok itu hilang sesampainya di gerbang sekolah.

Tin!

Kelina memberhentikan langkahnya, terkejut bukan main. Sebuah motor besar yang baru saja ingin keluar ke gerbang sekolah, hampir menabraknya.

Pengendara motor besar bewarna hitam itu melepas helm full face-nya.

"Aftab! Lo sengaja nabrak gue!"

Kelina langsung menendang roda depan motor besar di hadapannya itu.

"Waa!" Sepertinya keberuntungan tidak sedang berpihak pada Kelina, tendangan Kelina tidak berefek apapun, justru Kelina malah hampir saja terjungkai. Dan kini Kelina bertumpu pada stang motor besar itu, membuat jarak wajahnya hanya sekitar tiga puluh centi dari wajah Aftab.

Aftab terkekeh. Kelina dengan geram langsung membetulkan posisi berdirinya.

"Naik," ucap Aftab.

"Gak mau."

Tanpa izin, Aftab langsung menarik lengan Kelina, menyuruhnya untuk dipaksa naik.

"Iya gue naik! Tukang paksa!"

Kelina dengan sedikit berat hati, akhirnya naik. Kelina memutar bola matanya malas, tidak mengerti lagi dengan pemuda satu ini.

Brum!

Kelina lagi-lagi terkejut bukan main. Tubuhnya tiba-tiba terhentak ke depan, tepat di punggung Aftab. Kelina geram. Dia langsung menjitak kepala Aftab yang telah terlindungi oleh helm di sana.

"Aw!" Kelina malang sepertinya hari ini. Justru jitakkannya membuat jemari Kelina berdenyut. Kelina bisa mendengarnya, Aftab terkekeh di sana.

Tak ingin berlama-lama, Aftab akhirnya menjalankan motornya meninggalkan sekolah.

~~~


"Kita mau kemana sih?" tanya Kelina.

Kini dirinya dan Aftab sedang menerobos jalanan kota yang cukup terlihat lengang. Langit pun tampak mendung, siap menurunkan airnya. Kelina sudah mencoba menghela napasnya akibat Aftab yang sangat menyebalkan itu. Kelina tidak ingin mood-nya semendung langit hari ini.

"Beli buku sketsa buat lo."

Lengkungan bibir Kelina berhasil terbentuk, mendengar jawaban Aftab. Kelina bahkan hampir lupa stok buku sketsa di rumahnya sudah tak tersisa. Satu jawaban Aftab itu cukup memperbaiki mood Kelina padanya.

"Gue boleh nanya gak?"

"Nanya apa?" sahut Aftab.

"Kok lo bisa tau nomor telpon gue?"

Aftab terkekeh. "Mata-mata gue kan banyak."

"Tapi, kenapa lo mata-matain gue?"

"Emang salah gue pengen berteman sama lo?"

"Salah. Sangat salah. Lo nyebelin. Lo musuh, bukan teman."

Lagi-lagi Aftab terkekeh. Sekilas ia melihat wajah Kelina yang bertumpu di bahu kanannya melalui kaca spion. Tepat saat itu juga hujan langsung turun begitu derasnya. Aftab mau tak mau mempercepat laju motornya. Berhenti di sebuah halte kecil di depan sana.

"Neduh dulu," ucap Aftab.

Kelina mengikuti Aftab turun dari motor. Mereka berdiri di halte kecil tersebut.

"Gak jadi beli buku sketsa kalau begini ceritanya."

Mendengar itu, Kelina melemas seperti kehilangan semangat. Dia menatap Aftab yang mencoba tersenyum simpatik padanya. Kelina tidak membalas senyum. Aftab mencoba beralih menyusuri pandangan di sekitarnya. Ternyata ada taman di seberang halte kecil itu.

Aftab langsung menarik Kelina, meninggalkan ransel di halte, menerobos hujan. Mereka menyebrang menuju taman tersebut.

"Aftab, lo mau ngapain?" Kelina kebingungan.

Sesampainya di taman, Aftab malah berloncatan, mengajak Kelina menari di bawah hujan deras.

"Mau ngapain aja. Asal bikin lo senyum."

Pernyataan itu berhasil mencetak lengkungan bibir Kelina. Aftab masih terus menarik Kelina agar mengikuti gerakannya. Mungkin saat ini Aftab terlihat konyol. Tapi itu berhasil menghibur Kelina.

"Gue gak suka hujan di siang hari." Begitu derasnya hujan membuat Kelina pun harus berusaha mengeraskan volume suaranya agar dapat didengar.

Aftab langsung terhenti dari tariannya, menatap Kelina. "Kenapa?"

"Pertama, ganggu aktivitas. Kedua, nutupin mentari yang lagi bersinar."

Aftab tersenyum. "Lo tau? Apa yang lebih sedih dari hujan di siang hari?"

"Apa?"

"Hujan di malam hari."

"Mentari sudah ngasih sinarnya ke rembulan, tapi hujan itu malah nutupin; ketika semuanya gelap gulita. Lebih sedihnya lagi, gak akan ada pelangi di malam hari."

"Tapi sesedihnya hujan; mau itu siang atau malam, hujan selalu tulus buat orang banyak bahagia; setelah tugasnya selesai buat jatuh ke bumi," lanjut Aftab.













REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang