Kelina menyibak eratkan jaket toska yang dipakainya, bergegas keluar dari taksi. Dia telah sampai di kota lama pagi ini. Kelina sempat kesal bukan main, jadwal keberangkatan keretanya diundur untuk beberapa jam. Sepanjang perjalanan, Kelina tidak henti-henti merapalkan doa untuk keadaan Mamanya. Rasanya waktu berjalan panjang sekali dengan cemas yang menyelubungi benak Kelina.
Kelina sekarang kembali berpijak di depan rumah sederhana serta perkarangannya yang luas. Dahi Kelina berkerut. Suasana di sana sangatlah berbeda dengan terakhir Kelina ke sini.
Banyak orang-orang berdatangan. Dominan dari mereka berpakaian hitam-hitam. Bendera kuning pun dipajang depan rumah. Tunggu, ini ada apa sebenarnya?
Kelina mempercepat langkah, menyeret kopernya. Bude Nami tampak terisak di depan teras sana bersama beberapa tetangga menemani. Kelina menghampirinya.
"Bude? Kenapa ada bendera kuning? Mama ... mana, Bude?" Kelina bertanya polos.
Bude Nami menyeka air matanya, melihat Kelina. Beberapa orang di sana juga memberi tatapan nanar pada Kelina, seolah dialah orang yang perlu dikasihani.
"Lina ...." Suara Bude Nami bergetar.
Sepertinya Kelina paham apa yang terjadi. Tidak. Kelina menggeleng. "Gak mungkin. Mama gak kenapa-napa, kan? Jawab, Bude."
Bilang sekarang juga! Semua terkaan Kelina di benaknya itu tidak benar, kan! Pasti Mamanya baik-baik saja! Iya, kan?
"Kamu yang ikhlas, Lina."
Bude Nami coba merengkuh Kelina yang sudah mulai lemas sekujur badannya. Kelina membekap mulutnya, masih tidak percaya. Kepala Kelina seperti dihujam ribuan batu dalam sekejap. Sakit sekali.
"Mama?" lirihnya.
Kelina merasa kepalanya semakin berat. Bayangan Tari yang tersenyum dengan bibir pucat, seraya memotong apel sekelibat muncul di pikiran Kelina. Sebelum akhirnya, dia jatuh tak sadarkan diri di pelukkan Bude Nami.
~~~
Usia Kelina masih delapan tahun ketika malam itu. Dia sesegukkan dipangku Tari--Mamanya di atas ranjang kamar Kelina. Pasalnya, Kelina habis dimarahi Arsen karena sudah mencoret-coret buku PR Ghani. Padahal dia hanya ingin memamerkan keahliannya dalam menggambar pada Ghani.Ghani sudah coba membela Kelina, mengatakan bahwa itu tidak masalah. Tapi, tetap saja, Arsen kukuh dengan emosinya. Sampai Tari pun menengahi, menggendong Kelina yang menangis ke kamarnya.
"Ayah gak sayang sama Kelina ya, Ma?" Kelina menatap Tari penuh kesedihan di sana.
Tari membelai puncak kepala anak perempuannya itu dengan lembut. "Kelina sayang sama Ayah?"
Kelina mengangguk polos.
Tari tersenyum, menangkup hangat pipi Kelina. "Nanti kalau Kelina sudah besar, Kelina pasti tahu, gimana caranya menyikapi orang yang Kelina sayangi."
"Kelina mau disayang juga kayak Kak Ghani."
Tari tak hilang senyum mendengar elakkan gadis kecil tersebut. Dia merengkuh Kelina. Berharap itu dapat menenangkannya. "Kan ada Mama, sayang banget sama Kelina."
Tangan mungil Kelina ikut melingkar di tubuh Tari. Hal itu berhasil membuat Kelina tenang. Dia tidak pernah merasa kurang kasih sayang apabila bersama Tari. Kelina adalah gadis kecil yang masih beruntung.
Kelina menatap senyum hangat Tari di sana. Sosok Tari memudar. Semakin transparan. Kelina menggeleng, mencoba eratkan peluknya. Tari tidak boleh hilang. Air mata Kelina menetes kembali. Sebelum akhirnya, Tari benar-benar lenyap.
"Mama!" Kelina tersentak bangun. Napasnya terengah. Raut wajah Kelina tampak kacau.
"Mama mana, Kak Alde? Mama mana?"
Iya, laki-laki di hadapan Kelina saat ini adalah Alde. Sekarang mereka sudah ada di kamar lama Kelina. Tataan kamar yang cukup luas itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Ada dua ranjang, dahulu satu ranjang di seberang sana milik Ghani.
Kelina sadar apa yang telah terjadi. Dari luar sana terdengar samar orang-orang yang tengah sibuk memanjatkan doa.
Alde menangkup kedua bahu Kelina. "Lo tenang!"
Kelina langsung menjatuhkan kepalanya pada bahu Alde. Tubuhnya terasa lemas. Hatinya remuk. Karena sekarang Tari sudah nyata tiada. Air mata Kelina sudah tidak bisa dibendungkan lagi. Rasanya berat sekali menerima kedukaan saat ini.
"Mama gak boleh ninggalin gue, Kak," lirihnya.
"Bukan cuma lo yang kehilangan, Lina. Semuanya. Bude Nami dan gue. Lo harus bisa kuat!" Alde perlahan tapi pasti merengkuh Kelina. Membiarkan isak tangisnya tumpah di sana.
Kelina mulai terisak. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Tari tidak akan ada lagi di hadapan Kelina untuk selamanya. Baru kemarin dia memanjatkan doa berkali-kali sepanjang perjalanan agar Mamanya itu baik-baik saja. Tapi, mengapa takdir berkata lain?
Selama ini Tari yang menjadi alasan kuat untuk Kelina tetap menjalani hari seperti anak-anak lain. Tari adalah sosok satu-satunya pemberi harapan pada Kelina, menyayangi Kelina dengan sepenuh hati, dan membuat Kelina merasa beruntung memiliki Ibu sepertinya.
Tapi, kenapa ... ? Kenapa secepat ini?
Sepuluh menit berlangsung. Kelina masih sesegukkan dalam tangis. Alde mengusap pelan puncak kepala gadis di dekapannya, berharap itu dapat menenangkan. Alde biarkan gadis itu menyalurkan kesedihan padanya. Alde sangat mengerti apa yang Kelina rasakan saat ini. Pasti bukan situasi yang mudah.
Di lain sisi, Alde tidak sanggup bila membiarkan Kelina terus seperti ini. Ia kembali menangkup kedua bahu gadis itu, melepas peluknya usai tangis Kelina mulai mereda. Mata binar Kelina memerah penuh air mata di sana. Mereka saling tatap.
Satu tangan Alde terulur menyingkirkan rambut pendek Kelina yang menutupi wajah. Hatinya ikut hancur melihat keadaan gadis di hadapannya sekarang ini.
"Ibu lo segera dimakamin. Lo harus kuat. Kita antar beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya, ya," ucapnya lembut.
------------------------------
A.n :
Halo, semua!
Apa kabar?
Terima kasih buat yang membaca kisah Kelina hingga saat ini.Bagaimana ceritanya?
Jangan lupa vote & comment ya!See u next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Teen Fiction[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...