Chintya mempererat kedua tali ranselnya. Kini dia tengah berada di atas motor Aftab. Motor besar itu melaju, membelah jalanan kota. Cukup ramai, karena saat itu adalah dimana orang-orang mendapatkan jam pulang.
Mengingat mobilnya yang kemarin sempat mogok. Hari ini mobil Chintya kembali tidak beres. Sejak berangkat sekolah tadi pagi, mobilnya itu sudah terperonggok di bengkel. Mau tidak mau, Chintya pasrah, berangkat sekolah tadi dia masih beruntung sebab diantar oleh supir pribadi keluarganya. Biasanya supir itu mengantarkan Ibunya untuk kerja. Tetapi kali ini Ibunya berkata bahwa beliau masuk jam kantor cukup siang, jadi Chintya bisa meminta tuk diantarkan.
Sekarang Aftab membuat cukup Chintya bingung. Pemuda itu mau mengantarkannya pulang. Tadi saat di depan gerbang sekolah, Aftab kebetulan melewatinya. Pemuda jakung itu memberhentikan motor tepat di hadapannya. Tetapi Chintya tahu, pasti sebelumnya Aftab tidak ada niat tuk menghampirinya. Aftab menatap arah lain, hingga akhirnya dia tak sengaja melihat Chintya.
Chintya hanya menyapa dengan kikuk. Aftab diam sesaat, namun dia pun akhirnya membalas sapaan Chintya.
"Lo nungguin apa?" Chintya mencoba bertanya.
Bukannya menjawab. Aftab malah mengisyaratkan Chintya untuk naik ke atas motornya.
"Pulang sama gue," ucapnya.
"Hah?" Chintya yang sedikit syok, mengerutkan dahi.
"Oh, iyaudah kalau gak mau."
"Eh, iya! Gue mau."
Dan seperti yang sekarang Chintya lihat, Aftab terus fokus mengendarai motornya. Ia tidak mengatakan apa pun lagi padanya. Chintya coba melirik Aftab dari kaca spion. Sepertinya Aftab sedang memikirkan hal lain. Chintya menghela napas demi melihat raut wajah pemuda itu.
"Af, seharusnya lo gak perlu nganterin gue pulang," ujar Chintya.
Aftab tidak merespon. Chintya yang terus menunggu jawaban, menaikkan satu alisnya. "Lo ... udah maafin gue kan?"
Aftab lagi-lagi tak menjawab. Chintya hanya tersenyum tipis. Dia sangat memaklumi sikap Aftab padanya itu.
"Gue boleh tanya, kenapa lo tiba-tiba baik sama gue?"
Aftab menghela napas di balik helmnya.
"Kelina. Dia yang nyuruh gue buat baik sama lo." Kali ini dia menjawab.
Chintya mengerutkan dahinya kembali. Sepertinya tadi dia lihat Kelina saat di depan gerbang.
"Kenapa lo tinggalin dia tadi?"
Aftab berdecak. "Lo bisa diem gak, sih? Gue lagi fokus nyetir."
"Ya gue nanya, Af. Seharusnya tuh--" Belum genap Chintya mengucapkan kalimatnya. Tiba-tiba motor Aftab berbelok. Pemuda itu berhenti tepat di pinggir trotoar jalan.
"Turun."
Bibir Chintya membulat sempurna. "Loh loh?"
"Turun cepetan!"
Demi mendengar nada Aftab. Chintya menurut. Dia turun dari motor seperti apa yang dikatakan. Dahi Chintya berkerut. Kenapa dia disuruh turun?
Aftab menatap Chintya yang kini di sebelahnya dari balik helm. Ia masih menyalakan mesin motornya.
"Lo bilang seharusnya gue gak nganterin lo pulang kan? Ok. Gue duluan. Bye."
Chintya sangat tidak menyangka, Aftab langsung menancap gas begitu saja usai selesai mengucapkan kalimatnya.
"Aftab! Kok gue ditinggal!"
Chintya menggaruk dahinya. Dia menggeleng melihat Aftab yang semakin tak terlihat. Lihat saja, sekarang Chintya ditelantarkan begitu saja di pinggir jalan kota.
Chintya menghela pelan, tertawa kecil. Dia jadi membandingan sikap Aftab dulu padanya.
"Dasar dari dulu gak pernah berubah. Aneh bin ajaib."
Chintya memutuskan beralih mengambil ponsel di sakunya. Sepertinya Chintya tahu harus bagaimana. Dia menelpon seseorang di sana. Beberapa kali dering, telpon itu pun terangkat.
"Niar? Lo lagi di mana?" tanya Chintya pada orang di seberang sana.
"Lagi di jalan nih sama Vanya."
"Jemput gue dong. Di dekat pertigaan kedua dari sekolah ya."
"Ok. Gue kebetulan gak jauh dari situ, kok. Tunggu sebentar."
Usai sambungan telpon itu terputus, Chintya mencoba menyusuri pandangannya. Jalanan kota semakin ramai, malah sepertinya sebentar lagi akan menjadi kemacetan. Daniar--sahabatnya itu memang selalu bisa diandalkan. Tadi saat pulang sekolah Daniar memiliki janji pada Vanya untuk menemaninya pergi. Jadi, Chintya tidak mungkin ikut karena dia ingin cepat sampai ke rumah.
Jika tahu begini, Chintya sama saja ujungnya harus meminta tumpangan pada Daniar.
Pandangan Chintya tertuju pada mobil putih di depan sana. Mobil itu menghampirinya. Chintya tahu persis itu pasti mobil Daniar. Setelah mobil itu berhenti sempurna, Chintya pun putuskan untuk masuk. Dia mengambil kursi penumpang di belakang. Di depan sudah ada Vanya dan Daniar yang menyetir di sana.
Chintya menghempaskan punggungnya dengan lega usai menutup pintu mobil kembali. Daniar dan Vanya menoleh padanya.
"Lo abis ngapain? Kok bisa sampai sini?" Daniar bertanya.
Chintya memutar bola matanya malas. Dia ingat apa yang terjadi pada dirinya. "Tadi Aftab turunin gue sembarangan di situ."
Daniar mengerutkan dahinya tidak mengerti. Bagaimana bisa Aftab bersama Chintya? Apa Daniar tidak salah dengar? Di sisi lain Vanya hanya menyeringai, sedikit terkekeh mendengar penyataan Chintya.
"Bagus."

KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Fiksi Remaja[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...