Matahari di luar sana sudah turun dari atas kepala. Saat ini Kelina dan Aftab sedang berkunjung di salah satu kedai makan yang tidak jauh dari sekolah. Mereka memilih kursi tepat di samping jendela. Begitu tampak hilir mudik kendaraan di jalan raya sana. Di hadapan Kelina sudah ada dua piring salad lezat dan dua gelas orange juice. Tak absen Aftab juga duduk berhadapan dengannya.
Perkiraan Kelina, untuk seorang Aftab kedai makan ini pasti bisa menjadi urutan tempat favorit untuknya. Tapi jujur, ini pertama kali Kelina ke kedai makan ini dan dia menyukainya. Suasana kedai itu cukup nyaman.
Untuk kesekian kali Kelina menyuapkan sesendok salad ke dalam mulutnya.
"Lo kenapa bolos sekolah?" tanya Kelina.
"Lo kenapa genggam gunting kayak ingin bunuh diri?"
Kunyahan Kelina melambat. Dia mengalihkan padangan pada salad miliknya yang tersisa setengah piring itu.
"Tadi psikis gue lagi kumat aja," ucapnya pelan.
"Kalau gue gak ada saat itu juga. Sudah lewat kali tuh lo." Satu tangan Aftab langsung terulur mencubit hidung mungil Kelina.
"Aftab, sakit!"
Pemuda itu hanya terkekeh. "Lagi bandel. Sok kayak kucing punya nyawa banyak."
Kelina mengerucutkan bibirnya tidak terima. Kelina tahu Aftab pasti sedang mengejeknya.
"Tapi, potongan rambut lo lucu juga."
Kepala Aftab mengangguk-angguk memuji hasil potongan rambut Kelina. Baginya Kelina terlihat lebih lucu.
"Besok-besok gue bukain salon deh buat lo. Siapa tahu lo berbakat jadi hair stylis."
"Gak lucu." Kelina semakin mengembungkan pipinya sebal.
Aftab malah tertawa melihatnya. Lihatlah, Kelina bagai anak kecil yang merengek di hadapannya saat ini. Menggemaskan.
Saat tidak sengaja pandangan Aftab ke arah luar jendela sana, tawa Aftab mereda. Ia melihat seorang pemuda berjalan, sepertinya ingin masuk ke kedai ini.
Aftab tahu pemuda itu. Pemuda yang menolong Kelina di toilet sekolah. Orang itu adalah kakak kelasnya.
Dari mana Aftab tahu? Kuncinya adalah apa pun yang Aftab ingin tahu pastikan dia dapat.
"Lihat apa?" Kelina bertanya.
Pikiran Aftab terbuyarkan. Ia langsung kembali pada Kelina.
"Hm? Enggak."
Kelina mengerutkan dahi sejenak. Menengok ke arah yang Aftab lihat, namun sudah tidak ada apa-apa di sana. Hanya keramaian beranjak sore biasa.
Kelina mengendikkan bahunya sedikit tidak peduli. Kembali menyuapkan salad ke mulutnya.
"Makan yang banyak," ujar Aftab.
"Gak mau. Tar gendut."
"Gapapa. Biar tambah jelek."
Kedua mata Kelina melotot sempurna. Pemuda di hadapannya itu malah asyik menahan tawa.
"Enak aja!"
Tawa Aftab pecah kembali dengan Kelina yang melempar sedotan orange juice miliknya.
~~~
Di sisi lain saat Kelina dan Aftab telah hilang dari kedai makan itu. Fadhil menatap Alde yang baru saja datang langsung berkutat dengan laptopnya.
Pikiran Fadhil tertuju pada Kelina yang tidak sengaja dia lihat. Tapi, ada yang aneh dari gadis itu. Potongan rambutnya yang berubah menjadi pendek sebahu dengan poni di keningnya. Bukankah rambut Kelina terurai lebih panjang dari itu?
Fadhil takut kalau dirinya salah menerka orang. Jika itu bukan Kelina bagaimana?
Dan lebihnya lagi, Fadhil melihat gadis itu bersama pemuda lain. Pemuda itu mengenakan seragam yang sama dengannya. Sedangkan Kelina tidak, gadis itu hanya memakai tampilan sederhana oleh celana selutut dan T-shirt-nya.
Siapa pemuda yang satu sekolah dengannya itu? Tapi, sepertinya Fadhil tidak mengenali dalam angkatannya. Apakah iya pemuda itu satu angkatan dengan Kelina?
Lalu, apakah Alde tahu?
Pikiran Fadhil penuh dengan pertanyaan oleh gadis yang bernama Kelina itu. Gadis yang memiliki mata berbinar. Gadis itu terlalu misterius.
"Al?"
"Hm?" Alde yang dipanggil matanya terus berkutat dengan layar laptop di hadapannya.
"Kayaknya tadi gue liat Kelina, deh."
"Terus?"
Fadhil masih menatap Alde yang tidak berniat melihat ke lawan bicaranya itu. Memang sikap dingin Alde sepertinya telah menjati dalam dirinya.
"Kayaknya lo bener, Al. Dia unik. Dia penuh tanda tanya."
Alde yang tadinya tidak terlalu peduli pun akhirnya menatap tajam Fadhil.
"Gue gak suka sama dia, Al."
Alde masih belum bicara apa-apa. Tangannya yang tadi sudah berhenti menari di keyboard laptop beralih bersidekap.
"Serius."
Fadhil mengela napasnya panjang. Alde masih belum merubah posisi. Tatapannya semakin imitidasi pada Fadhil, seperti ingin menerkamnya tanpa ampun.
"Sekarang gue tanya, gimana kalau lo sampai liat dia sama orang lain? Apa lo rela? Sedangkan egois lo terlalu stuck di kekecewaan lo bertahun-tahun silam. Lo harus berhenti mengalah dengan ego lo sendiri, Al."
Alde langsung memindahkan kedua tangannya kembali ke atas meja. Sepertinya Fadhil berhasil menohok Alde.
"Lo gak tau apa-apa," ucap Alde.
Fadhil memutar bola matanya malas. "Gue tau lo, Aldebara. Isi kepala lo itu terlalu keras."
"Shut up, don't talk anymore."
Fadhil menatap Alde tidak percaya. Teman di hadapannya itu malah kembali beralih pada layar laptopnya seolah tidak mempedulikan apa pun.
"Ok. Jangan salahin gue kalau gue bakal bangunin kata hati lo yang sebenarnya."
"Kata hati lo yang sebenarnya gak rela," lanjut Fadhil.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Fiksyen Remaja[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...