Satu jam berlalu. Kelina belum mengatakan apa pun lagi sejak Aftab menenangkannya. Seusai Kelina berhasil meredakan takut dalam dirinya. Kelina melepaskan pelukan Aftab. Pemuda dengan manik mata pekat itu menatapnya dengan lekat. Mungkin dengan sedikit bercerita pada pemuda di hadapannya ini dapat membuang rasa kalut Kelina.
"Kak Ghani ... kakak kandung gue," Kelina memutuskan berbicara dengan suara seraknya.
Aftab masih menatap penuh perhatian, menunggu kalimat selanjutnya dari Kelina.
"Gue bersahabat, Kak Ghani dan Kak Alde. Mereka berdua baik banget sama gue. Sampai akhirnya ... gue bikin kesalahan, gue iri buta sama Kak Ghani, Ayah selalu ngasih perhatian lebih ke Kak Ghani. Sedangkan gue enggak ... Ayah gak berharap punya anak perempuan. Makanya Ayah selalu bangga sama Kak Ghani."
Kelina tertunduk. Dia kembali mengingat setiap detail kejadian empat tahun silam. Ya. Dia sangat mengingatnya. Kelina tidak akan lupa dengan kesalahan terbesar dalam hidupnya itu.
"Kesalahan gue adalah ngutarain rasa iri itu, Af. Gue marah. Ayah nyalahin gue terus, meskipun Kak Ghani ngebela gue. Gue kabur di depan mall setelah gue sekeluarga cecok tentang itu. Padahal itu momen kita untuk bareng-bareng."
Bendungan air di kelopak mata Kelina dengan cepat membentuk disana. Tetesan tersebut berhasil jatuh sempurna ke pipi Kelina saat itu juga.
Seandainya waktu dapat diulang kembali, Kelina sangat ingin memperbaiki masa lalunya tersebut. Jika tidak mustahil. Jika bisa, dia ingin sekali melakukannya. Itu lah yang ada dalam pikiran Kelina sekarang. Apakah dia bisa melakukannya?
"Kak Ghani ngejar gue ... Tapi, bodohnya gue gak peduli. Sampai akhirnya ... dia ketabrak mobil."
Napas Kelina sedikit tertahan. Itu bagian terberat baginya.
"Kak Ghani gak terselamatkan," lanjut Kelina.
Kelina sedikit terisak. Mengingat detik masa lalu itu tidaklah mudah untuknya.
"Sejak itu orang tua gue selalu bertengkar, Af. Mama gue selalu keras kepala ngebela gue. Sampai akhirnya orang tua gue cerai, dan gue mutusin pergi ikut tinggal sama Ayah."
Saat itu satu tangan Aftab terulur menyapu air mata di pipi Kelina. Air mata itu tidak berhenti mengalir. Aftab masih setia menatap Kelina. Ia tampak sedikit prihatin. Melihat seorang perempuan menangis termasuk salah satu kelemahan Aftab. Aftab tidak bisa, tapi di sisi lain dia juga ingin sekali mendengar apa yang terjadi dengan gadis tengah bersamanya ini.
Kini seorang Kelina telah menangis di hadapannya, menceritakan keluh kesah berasal dari masa lalu kelamnya pada Aftab.
Seorang gadis yang Aftab temui di lapangan saat acara sekolah beberapa minggu yang lalu. Gadis yang sama ketakutan saat pertama kali ia temukan, yang kemudian dengan sigap ia tarik menuju ruang laboraturium bahasa.
Iya. Gadis itu Kelina.
"Jangan nangis," itu yang Aftab katakan. Ia terus mengusap air mata di pipi gadis itu.
Kelina mendongakkan kepalanya, demi kembali menatap Aftab di hadapannya.
"Lo bisa gue percaya kan, Af?" tanya Kelina.
Aftab dengan lembut tersenyum, mengangguk. "Iya."
"Senyum dong," pinta Aftab.
Meski samar, senyum Kelina tercetak di sana. Aftab dapat melihatnya dengan jelas.
"Lo tau? Mata lo selalu tulus, Kel," Aftab berujar.
Kelina menurunkan satu tangan Aftab dari pipinya. Dia kembali menunduk. Jika keadaannya tengah berbeda dan baik-baik saja saat ini, mungkin Kelina akan bersemu mendengar pernyataan Aftab barusan. Tapi dia sedang tidak cukup baik, mengingat tangisnya baru saja mereda.
"Gue suka sama lo," lanjut Aftab.
Mata Kelina sedikit membulat. Tapi, bukan karena kalimat yang baru saja Aftab katakan. Namun, jam yang melingkar di pergelangan pemuda itu. Tertera pukul jam lima sore di sana. Riwayat hidupnya terancam jika sampai Kelina ketahuan terlambat pulang ke rumah oleh Arsen.
"Gue harus pulang, Af!"
Kelina dengan cepat menyambar tas dan beranjak keluar dari rumah kayu itu. Aftab hanya menghela napas, tersenyum menggelengkan kepala melihat Kelina yang terburu-buru. Gadis yang bersamanya itu memang cukup unik, bagi Aftab.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
أدب المراهقين[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...