Terik (2)

40 6 0
                                    

Kelina merobek daun yang sempat dipetiknya asal tadi. Sekarang Kelina tengah duduk di bangku taman di halaman belakang sekolah. Di sana juga ada satu pohon rindang. Halaman belakang sekolah itu sebenarnya cukup cantik dengan beberapa hiasan tanaman bunga. Tapi hati Kelina kini sedang tidak berpihak padanya.

Tadi sebisa mungkin Kelina menahan air matanya. Tapi, tetap saja gagal karena Kelina berhasil melolosan beberapa tetesan di sana. Kelina langsung menepis air mata itu yang mengalir cepat ke pipinya.

Sebenarnya jika dipikir, Kelina merasa kesal terhadap dirinya. Mengapa juga dia menangisi suatu hal yang tidak terlalu penting. Ya mungkin hal sepele. Tapi, masalahnya dia sudah percaya dengan Aftab dan Kelina merasa kecewa lagi kali ini.

Kelina selalu luluh menceritakan apa pun pada Aftab. Namun pemuda itu? Berjuta misteri Kelina tidak diperbolehkan menyentuhnya.

Jika Aftab hanya orang lain yang tidak terlalu Kelina kenali, mungkin Kelina tidak akan perduli. Tapi, Aftab adalah orang yang sudah membuatnya selama ini berhasil tersenyum. Kelina juga ingin tahu bagaimana misteri-misteri Aftab itu. Apakah salah?

"Kelina?"

Kelina langsung mengusap pipinya, memastikan tidak ada sisa air mata di sana.

"Lo ngapain di sini?"

Kelina menoleh sekilas pada orang yang bertanya pada dirinya. Itu Fadhil. Laki-laki itu mengambil tempat kosong di samping Kelina.

"Kemarin gue liat lo di kedai makan. Gue kira salah orang. Soalnya rambut lo beda."

Kelina diam, tidak menjawab. Dia membiarkan Fadhil asyik bermonolog. Jujur, Kelina sedang tidak ingin membahas apa pun.

"Gue ke sini nyariin Alde. Tuh anak ilang mulu kayak pulpen di meja." Raut wajah Fadhil tampak sebal. Ia mengingat betapa seringnya Fadhil mencari Alde susah payah.

"Oiya, by the way, cowok yang kemarin sama lo itu ... teman lo ya?"

Kelina terpaku. Orang yang dimaksud Fadhil itu apakah Aftab? Mengapa juga Fadhil menanyakan dia. Kelina sedang amat tidak ingin mengingat pemuda aneh itu.

"Saya ke kelas dulu ya, Kak." Kelina langsung beranjak dari tempatnya.

"Kelina?"

Baru lima langkah Kelina berjalan, dia terhenti. Kelina tidak membalikkan badannya demi melihat Fadhil di sana.

Seuluran tangan dengan bunga yang terhampir di jemarinya, tersondor pada Kelina. Sekarang Fadhil berdiri tepat di samping Kelina. Ia menatap gadis itu.

"Nih ... Gue gak tau beban hidup lo apa. Tapi saran gue, lo jangan terlalu larut ya. Gue tau lo cewek kuat. Mungkin bunga ini bisa sedikit menghibur lo. Ya meskipun ini gue baru asal petik tadi. Setidaknya itu yang bisa gue lakuin dari pada gak ada sama sekali."

Kelina sedikit menghela napasnya. Dia mencerna dengan baik apa yang dikatakan oleh Fadhil. Kelina sangat menghargai niat Fadhil untuk menghiburnya. Oleh karena itu, Kelina dengan senang hati menerima bunga yang diberikan Fadhil. Kelina mencoba terseyum.

"Thank's, Kak."

Fadhil membalas senyum hangat di sana.

"Iyaudah, saya mau ke kelas, Kak."

~~~

Jam pengajaran terakhir yang sedang berlangsung saat itu adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sana, tepat di ruang kelas sebelas IPA empat--ruang kelas Kelina, guru pria paruh baya tengah memberi catatan di papan tulis. Murid-murid di kelas itu wajib mencatatnya. Itu pembahasan materi penting tentang puisi-puisi kuno.

Yang menjadi masalah sekarang adalah pikiran Kelina sedang tidak berada di situ, pikirannya bergentayangan entah kemana.

Fira yang memperhatikan sedari tadi, menyenggol teman sebangkunya itu. "Lo kenapa liatin Chintya terus, Kel?"

"Ah? Gak, kok."

Fira mengeluh pelan. "Kelina ... Lo itu gak jago bohong."

Kelina mengalihkan pandangannya sebentar. Apakah dia perlu menceritakannya saja pada Fira? Kelina membali menatap Fira yang meyakinkan di sana.

"Lo ... tau Chintya pernah pacaran sama Aftab?"

"Tau."

Kedua mata Kelina membulat, tidak menyangka. "Kenapa lo gak pernah bilang?"

"Lo gak nanya."

Iya juga, ya? Mengapa Kelina tidak pernah terbesit seperti itu?

"Kenapa gue bodoh banget ya, Fir? Gue baru tau hal itu."

Fira menepuk dahinya gusar. "Ya ampun, Kelina! Sedangkan hal itu. Lo nih palingan cuma tau nama orang-orang yang di kelas ini doang. Di kelas lain? Bisa di hitung kali yang lo kenal."

"Lo pikir gue gak tau setiap gue sama Julia lagi ngegosip lo gak pernah dengarin sama sekali? Gue tau semua tentang lo, Kelina," lanjut Fira.

Kelina masih mengamati Fira. Dia coba mencerna semua yang diucapkannya.

"Gue tau sifat cuek lo, dan gue tau saat lo udah peduli sama satu orang, lo bakal lakuin apa aja sebisa lo."

Kelina tersenyum. Dia terharu, setahu itu Fira peduli pada Kelina. Kelina sangat merasa beruntung menemukan teman seperti Fira.

"Thank's ya, Fir."

Fira mengangguk. Dia kembali menyelinggi catatannya di buku tulis.

"Jadi, lo sedih gara-gara hal itu?" Fira bertanya.

"Ya ... gue kecewa aja kenapa gitu gak ada yang cerita hal itu dari awal."

"Lo yakin mau dengar ceritanya?"

Kelina mengangguk. Fira melihat sekilas pada Kelina. Sesungguhnya dia tidak yakin Kelina akan mau mendengarnya. Tapi, demi melihat mata berbinar Kelina yang terus menunggu ucapan Fira, sepertinya tidak ada pilihan lain. Fira sempat menggeleng pelan. Teman satunya itu cukup rumit.

"Jadi, dulu itu Chintya sama Aftab pacaran. Ya ... Gue dengar-dengar sih Chintya first of falling in love si Aftab. Terus belum genap dua bulan mereka putus, katanya sih Chintya yang ninggalin Aftab gitu aja, dan berpaling dengan gampangnya. Tapi gue bingung gitu ya, si Chintya kan anaknya baik-baik aja. Masa iya sih dia sejahat itu?" Fira memutuskan bercerita seraya selingi menyalin catatan.

Kelina masih menatap Fira, menunggu kelanjutannya. Dia ingin tahu lebih lengkap tentang hal itu. Mungkin Fira bisa menjadi narasumber untuk Kelina.

"Terus setelah itu, si Aftab otomatis kecewa berat dong. Siapa juga yang gak kecewa ditinggalin pas masih ada rasa ya kan? Gue dengar juga sih Chintya merasa bersalah banget dan ngejar Aftab lagi hanya untuk minta maaf. Tapi mungkin seperti yang lo tau, Aftab selalu nganggap Chintya itu angin berlalu, gak ada, tembus pandang, dan cuek aja gitu."

Kelina mengalihkan padangannya pada yang lain. Jadi, itu yang membuat Aftab tidak bersikap baik dengan Chintya? Mereka pernah saling mencintai?

Fira di sampingnya kembali menyenggol Kelina. Dia tahu Kelina pasti sedang melamun memikirkan semua yang dirinya ceritakan tadi.

"Kel? Sudah ... Catat tuh yang di depan cepetan. Dikit lagi bel pulang. Gausah terlalu lo pikirin. Botak nanti kepala lo yang ada, kebanyakan pikiran."
















REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang