Aftab

95 9 1
                                    

~☆~

Karena begitulah arti namaku sesungguhnya, Aftab... Sang Mentari. Akan selalu ada di belakangmu, Rembulan.

~☆~

Dering bel pertanda waktu pulang sudah bergema ke penjuru sekolah. Aftab dengan tegap telah sempurna berdiri di depan pintu kelas Kelina. Wajahnya cukup berseri, mengingat dia akan memberitahu suatu hal pada Kelina. Ia tidak sabar melihat respon gadis itu.

Tepat pada orang kesekian yang keluar dari pintu kelas, Kelina muncul. Dia sepertinya tidak menyadari, melewati Aftab begitu saja.

"Sumarni!" Penuh antusias karena telah menunggunya sejak tadi, Aftab berhasil menahan pergelangan Kelina.

Kelina menghela napas gusar, membalikkan tubuhnya. "Berapa kali gue bilang, nama gue Kelina."

Aftab hanya tersenyum tanpa dosa melihat wajah suram Kelina.

"Lo harus ikut gue pokoknya."

Tanpa persetujuan Aftab menuntun Kelina mengikuti langkahnya. Kelina hanya diam. Dia sedang tidak ingin memberontak. Mood-nya cukup buruk saat ini. Tak ada gunanya melawan Aftab, orang itu pasti keras kepala. Yang ada nanti suasana hati Kelina semakin memburuk. Kelina tidak ingin itu terjadi.

Mengingat kembalinya Kelina ke dalam kelas, usai meredakan air mata di halaman belakang sekolah di jam istirahat tadi, Kelina sangat tidak ingin mengingatnya lagi. Kak Alde cukup menohok dirinya.

Fira--teman sebangkunya pun sempat bertanya ada apa dengannya. Terlebih mata Kelina yang terlihat sembap. Tapi, Kelina memilih untuk tidak menjawab. Bercerita semua masalah pada temannya itu bukan opsi yang tepat untuk Kelina kali ini. Lebih baik Kelina bungkam. Malas membahasnya.

Sesampai Aftab menuntun Kelina hingga ke tempat motor besarnya terpakir, Aftab mengerutkan dahi, memakaikan helm bunga-bunga kecil yang ia bawa. Aftab sepertinya juga dapat membaca alir wajah Kelina saat itu.

"Lo gapapa, Kel? Mata lo--"

"Gapapa," Kelina memotong.

"Serius?"

"Iya. Cepetan berangkat."

Aftab masih menatap bingung Kelina. Ia masih bertanya-tanya dalam pikirannya. Tapi Aftab pun sangat tahu, mood gadis yang bersamanya ini pasti sedang tidak mendukung untuk dirinya mengutarakan pertanyaan.

Tanpa berlama, Aftab memilih melajukan motor besarnya keluar sekolah. Aftab kali ini sepertinya harus mengembalikan suasana hati Kelina jadi lebih baik.

~~~

Jika tidak sedang malas menebak, Kelina pasti tahu dari sebelumnya bahwa Aftab akan membawa Kelina ke rumahnya. Sesampainya di rumah Aftab, Kelina langsung digiring oleh pemuda tersebut ke halaman belakang rumah.

Rumah kayu yang kemarin sore belum terselesaikan, kini telah cantik sempurna. Aftab dengan penuh bangga memperlihatkannya pada Kelina.

Kelina hanya menghela napas pelan. Lagi-lagi dia merasa salah telah mencampur adukkan mood-nya pada orang lain, yang pada dasarnya orang itu tidak tahu menahu apapun. Tidak seharusnya Kelina bete seperti tadi.

"Cantik." Kelina mencoba tersenyum pada Aftab yang bersamanya. Pemuda itu begitu antusias menarik Kelina memasuki bagian dalam rumah kayu.

Kelina cukup terpukau dengan apa yang ada di dalam rumah kayu tersebut. Lukisan ilustrasi antariksa di setiap dimensi dindingnya. Pernak-pernik yang kemarin dia lihat pun telah terpajang sempurna di sana.

"Keren banget," ucap Kelina.

Aftab tersenyum.

"Lo harus sering-sering ke sini."

Kelina mengangguk, membalas senyuman Aftab yang duduk di hadapannya. Kelina sangat tertarik menyusuri setiap titik pada dinding rumah kayu ini. Bertanya dalam pikiran bagaimana Aftab menyempurnakan ilustrasi antariksa itu.

"Tadi mata lo sembab. Kenapa?"

Kelina yang menoleh, terdiam.

"Apapun cerita lo. Gue pengen dengar."

Kelina masih bungkam. Kini dia tertunduk, kehilangan minat pada lukisan dinding kayu itu. Dia kembali teringat ucapan pemuda berkaca mata yang tadi Kelina temui di halaman belakang sekolah.

"Menurut lo, kesalahan apa yang gak bisa lo maafin, Af?" Kelina memutuskan bicara. Suaranya merendah.

"Eum ... Kalau seseorang pergi gitu saja. Tanpa alasan saat gue benar-benar ingin dia ada di samping gue."

Lagi-lagi Kelina tertohok. Itu tepat seperti yang Alde maksudkan tadi. Mengapa hatinya begitu sakit? Air di mata Kelina dengan cepat membentuk bendungan.

"Kenapa?" tanya Aftab bingung.

"Gara-gara gue Kak Ghani meninggal, Af."

Aftab mengerutkan dahinya. Tapi, bukan berdominan siapa itu Kak Ghani yang disebutkan Kelina. Namun, Kelina yang begitu mulai ketakutan. Otaknya terus memutarkan kejadian empat tahun silam. Membuat Kelina ketakutan, sama seperti saat mendengarkan dentuman musik di acara sekolah lalu.

Kelina mulai menutup kedua telinga dengan tangannya masih dalam pergerakan pelan. Aftab dengan cepat memeluk Kelina. Ia sangat berharap gadis itu dapat mereda takutnya.

"Gue di sini, Kel. Aftab. Jangan takut. Lo boleh cerita apapun sama gue. Gue jagain lo."














REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang