Malam (1)

78 5 4
                                    

"Fyiuh ... "

Kelina meletakkan ransel toskanya di tempat kering samping wastafel. Jam belajar sekolah telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Dia baru saja selesai membantu Bu Hindri--guru seni budayanya membawa tumpukkan kanvas dengan berbagai lukisan ke meja kantor guru.

Mengingat presentasi lukisan saat jam pelajaran seni budaya tadi, Kelina merasa cukup puas. Oh, ralat ... Sangat puas. Dia dapat menjelaskan dengan detail lukisan merpatinya. Chintya pun sama, lukisan rembulan itu dapat dia ungkapkan sempurna maksud dan makna didalamnya.

Tadi sih sebenarnya Kelina bersama Fira mengantar tumpukkan lukisan itu, namun Fira seperti biasa pulang terlebih dahulu bersama Julia. Alhasil, Kelina memutuskan ke dalam toilet sekolah yang sempat dia lewati. Mengangkat dua puluh tumpuk lukisan tadi cukup menguras tenaga bagi Kelina, ditambah cuaca panas siang hari ini.

Kelina menyelipkan rambutnya ke kedua daun telinga, berniat membasuh wajahnya dengan air.

Srek!

Belum genap Kelina membuka keran, seorang tiba-tiba menghentak bahu Kelina. Kelina otomatis terkejut bukan main. Seragam putihnya sobek di bagian lengan.

"Vanya?"

Iya. Itu Vanya, sahabat Chintya yang Kelina lihat saat di rumah Aftab kemarin. Gadis itu menatap Kelina dengan penuh amarah.

"Aftab mana?!"

"Gue--"

"Sejak pergi sama lo kemarin, dia gak balik ke rumahnya!"

Kali ini Kelina benar-benar terpojok. Vanya berhasil menyudutkannya pada dinding samping wastafel.

Srak!

Rambut Kelina yang terkuncir kini dihentak oleh Vanya hingga terjatuh duduk di lantai. Kelina berteriak kesakitan. Rasa perih dan panas menjalar di puncak kepalanya.

Vanya berjongkok di hadapan Kelina. "Gue bilangin ke lo, jangan sok ngedeketin Aftab. Lo gak tau apa-apa tentang dia."

Kelina tidak merespon. Pikirannya dominan dengan apa yang tengah Kelina rasakan. Kepalanya yang perih berubah terasa amat berat. Matanya mulai berkaca-kaca. Ngiangan yang menakutkan sepertinya mulai kembali berputar di otak Kelina. Dia coba menutup telinga kuat-kuat, berharap semua suara di benaknya itu hilang.

Vanya bangkit dari jongkoknya, mengambil seember kecil air bekas membersihkan lantai di bawah wastafel.

Byur!

Air kotor itu sempurna membasahi seluruh tubuh Kelina.

"Sekali lagi gue peringatkan ke lo, jauhin Aftab!"

Vanya menepuk kedua telapak tangannya, dia berhasil melempar asal ember kosong ke sisi ruangan. Vanya berbalik, keluar dari toilet itu. Sekarang tinggal Kelina sendiri. Dia semakin ketakutan, merintih tangis, memeluk tubuhnya erat-erat. Siapa pun, tolong!

Seorang pemuda dari depan toilet sana terdengar langkahnya. Ia seperti ragu memasuki toilet perempuan. Namun, ketika melihat bayangan Kelina terisak dari pintu sana, dia langsung masuk dengan cepat.

"Kelina?" Pemuda itu kini tepat berjongkok di hadapan Kelina.

Kelina menoleh kaku. Dia mengenal pemuda itu. Kakak kelas yang tidak sengaja bertabrakan dengannya di kelokan koridor dan mengenali Kelina entah dari mana.

"Takut ... " rintih Kelina.

Pemuda itu tak lain Fadhil. Dia langsung melepas jaket abu-abu yang dipakainya, melampirkan pada Kelina.

"Kita keluar dari sini sekarang ya," ucap Fadhil.

Fadhil bergegas menuntun Kelina untuk bangkit. Mereka berjalan keluar dari toilet sekolah itu. Disana tampak sudah sangat lengang. Fadhil memutuskan mengajak Kelina duduk di bangku koridor sana. Kelina masih sedikit kaku ketakutan. Fadhil menatapnya dengan malang, Kelina terlihat sangat tidak baik-baik saja.

"Lo gapapa? Gue minta maaf nih sebelumnya ya." Fadhil mengulurkan tangannya, membantu mengeringkan puncak kepala Kelina dengan bagian jaketnya.

Kelina tidak menjawab, dia masih bungkam. Ketakutannya sedikit demi sedikit mereda.

"Gue Fadhil." Pemuda itu tersenyum pada Kelina yang menatapnya.

Tapi sepertinya Fadhil salah. Kelina bukan menatapnya. Dia menatap apa yang ada di belakang Fadhil. Fadhil memutuskan menoleh, mengikuti arah pandangan Kelina.

Dan itu ... Alde. Sahabat Fadhil satu itu ternyata baru saja datang dengan aksen dinginnya. Fadhil mengusap dagu, menghampiri Alde. Ia hampir lupa jika Alde menunggunya.

"Gue tadi gak sengaja dengar teriakan di toilet. Terus gue nemuin dia," jelas Fadhil, melihat Alde yang masih menatapnya menunggu penjelasan.

"Gue pulang duluan. Saran gue jagain dia, Al. Mungkin dia butuh lo." Fadhil menepuk bahu Alde, lalu berjalan pergi begitu saja. Meninggalkan Alde bersama Kelina.

Alde yang menatap Kelina, menghampiri.

"Pulang sama gue," ucap Alde dengan cepat.

Alde menghela napas, melihat Kelina hanya menatapnya tanpa respon apa pun. Ia akhirnya menjulurkan satu tangannya.

"Ayo."

Perlahan tapi pasti, Kelina menerima juluran tangan itu.















REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang