~☆~
Langit malam itu sederhana. Saat rembulan bersisian indah dengan gembintang, tanpa bertengkar.
~☆~
Kelina berjalan gontai menyusuri koridor. Masih terlalu pagi untuk datang ke sekolah sepertinya. Koridor itu masih sepi. Hanya kicauan burung yang memecahkan keheningan di sana. Bel sekolah pun masih berdering tiga puluh lima menit lagi.
Bukan tanpa maksud Kelina datang sekolah sepagi ini. Tapi Arsen--ayahnya telah meninggalkan Kelina lebih dahulu pagi-pagi buta dan tidak mengantarkan ke sekolah layak biasanya hari ini.
Memang sih ini bukan yang pertama kali untuk Kelina memaklumi Arsen yang seperti itu. Tapi, Kelina juga tidak tahu ayahnya masih marah atau tidak padanya. Mengingat sikap dingin yang selalu Arsen tujukan pada Kelina, Kelina jadi sulit menebaknya.
Terlebih mood Kelina sejak malam tadi sedang tidak baik. Pikirannya tertuju pada masalah Aftab kemarin. Perasaannya berkecamuk antara kesal, kecewa, sedih, dan bersalah. Entah bagaimana Kelina mengungkapkannya. Rasanya Kelina ingin berhenti memikirkan hal tersebut.
Kelina memperlambat langkahnya. Dia melihat Alde duduk di kursi koridor tak jauh dari pintu kelas Kelina. Pemuda itu memangku laptop di hadapannya. Entah sibuk mengetik apa.
Kelina memutuskan menghampirinya. Dia mengambil tempat duduk di ruang kosong samping Alde. Pemuda itu menyadari kehadirannya. Alde menoleh pada Kelina.
"Hai, Kak?" Kelina menyapa kikuk.
Alde tidak menanggapi. Ia masih menyelingi kegiatan pada laptopnya. Tapi yang berhasil membuat dahi Kelina berkerut adalah tangan Alde tiba-tiba menyodorkan sebatang coklat yang terbungkus rapih dengan sebuah pita.
"Janji gue ganti coklat lo yang jatuh waktu itu," ucap Alde.
"Gak usah, Kak," tolak Kelina.
"Terserah lo mau terima apa enggak. Gue gak terima coklat itu balik ke gue."
Kelina sebenarnya tak mengerti. Tapi, mau tidak mau dia harus terima coklat itu. Aksen dingin Alde masih tercetak di sana. Dia kembali melanjutkan kegiatan pada laptopnya.
"Makasih, Kak."
Alde tidak merespon. Bagi Kelina itu tidak masalah. Senyum tipis Kelina terukir melihat coklat yang kini digenggamannya.
Kelina mencoba beralih pada apa yang Alde kerjakan di laptopnya. Sebenarnya Kelina sejak dulu tahu bahwa Alde adalah sosok yang pintar. Di laptopnya tertera seperti suatu program. Namun Kelina tidak mengertinya sama sekali. Alde sedang mengerjakan salah satu dari sekian banyak tugasnya mungkin.
"Kak?"
"Hm?"
"Lo ... gak mau ngirimin gue ke Saturnus? Atau culikkin bulan buat gue? Atau ... temuin kode genetik orang yang bisa menghilang buat suntikkin ke gue gitu?"
"Kebanyakan ngayal," respon Alde.
Kelina terkekeh. Dia tahu bahwa Alde adalah termasuk orang yang realistis dan masuk akal. Menurut Alde, hal yang Kelina katakan itu suatu yang menyebalkan baginya.
"Lo mau liat gak, Kak?"
Alde menaikkan satu alisnya pada Kelina. Gadis itu kini tengah mengambil sesuatu di ransel toskanya.
Melihat burung yang hinggap di area sekolah, mengingatkan Kelina pada lukisan merpati buatannya saat di rumah Chintya. Hari ini tugas itu akan dia kumpulkan.
Kelina coba mengeluarkan lukisan kanvas tersebut dari ranselnya. Dia memperlihatkannya pada Alde. Alde masih belum merespon. Ia menunggu penjelasan dari Kelina.
"Gue ingin deh jadi merpati ... Dia putih cantik ... Bebas, bisa terbang, melihat semuanya dari atas."
Alde bergumam. Kembali pada layar laptopnya. "Oh, gitu."
Kelina tersenyum tipis. "Merpati ini selalu indah meskipun di sekitarnya terlalu hitam."
Alde sedikit menghela napasnya. "Jadi, intinya masalah lo apa? Jangan pakai bahasa sastra jelasinnya."
Kelina kembali terkekeh. Alde tahu Kelina sedang bercerita tentang dirinya pada Alde. Namun, cara Kelina bercerita bukanlah suatu yang mudah dipahami bagi Alde.
"Kalau bisa pakai bahasa komputer gue pakai bahasa komputer deh, Kak. Tapinya gue gak bisa."
Disela-sela tawa Kelina, tanpa Kelina sadari Alde tersenyum tipis. Koridor sekolah yang tadi lengang mulai lalu lalang oleh murid lainnya. Satu dua di antaranya menyapa Kelina.
Alde menutup laptopnya, lalu bangkit dari tempat. "Gue ke kelas."
Kelina hanya mengangguk. Dia memperhatikan punggung Alde yang semakin menjauh. Senyum Kelina masih tercetak di sana. Sepertinya pagi hari ini suasana hati Kelina membaik, setelah bertemu Alde tadi. Bukan apa, mendapatkan respon yang lebih baik dari Alde, Kelina merasa cukup senang.
"Ciyee, senyum-senyum!"
Kelina terkejut, langsung menoleh. Fira, teman sebangkunya itu mengambil tempat duduk di samping Kelina. Dia baru saja datang.
"Coklat lagi? Dari siapa?" tanya Fira.
"Kepo!" Kelina langsung bangkit dari tempatnya. Meninggalkan Fira. Kelina tahu pasti nanti Fira akan mengejeknya, sahabatnya satu itu memang sering menyebalkan.
"Banyak banget sih Pengagum Rahasia lo, minta satu kenapa!" teriak Fira.
Kelina tidak merespon. Dia hanya terkekeh menggelengkan kepala. Apa sih yang sedang Fira bicarakan. Kelina tak acuh terus berjalan menuju kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Roman pour Adolescents[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...