~☆~
Ada keluh yang tak boleh ku sentuh. Seperti ricuh yang tak kunjung luruh. Kau tahu? Aku ingin merengkuh separuh rapuh yang lusuh itu. Meski peluh masih terus ku kayuh. Hingga pada hari ketujuh, kau menyuruhku terjatuh. Kemudian kau buat lumpuh dengan teduh yang paling runtuh. Iya, benar. Kau tak butuh.
~☆~
Bel pulang berdering keras. Guru pria paruh baya di depan sana mengakhiri pelajaran. Kelas satu per satu berbubaran keluar. Kelina ber-puh lega. Dia baru saja selesai menyalin semua materi di papan tulis ke buku catatannya.
"Tungguin gue, Kel," Fira di samping Kelina memohon. Dia belum juga menyelesaikan catatannya. Jemari Fira begitu gesit menarikan bolpoint.
Kelina hanya bergumam menanggapi. Dia memutuskan untuk merapihkan buku serta alat tulisnya di atas meja.
Genap Kelina selesai memasukan barangnya dan sudah menyampirkan ransel toska di kedua bahu, Fira berteriak 'akhirnya'. Kelina langsung melotot. Untung saja kelas sudah tidak ada siapa pun, hanya mereka berdua yang menghuninya. Jika tidak, itu sangat memalukan.
Fira hanya terkekeh tak berdosa melihat ekspresi Kelina. Dia sangat lega karena catatannya telah sempurna. Lagi pula Fira mencebik. Guru mata pelajaran bahasa indonesia itu teramat unik. Seolah di dalam ajarannya hanyalah soal mencatat. Terlalu banyak catatan.
Fira dengan bersemangat langsung cekatan merapihkan barang-barangnya.
"Julia gak masuk hari ini. Katanya Tante gue sih dia sakit. Tapi, gue belum sempat jenguk."
Kelina hanya mengangguk paham.
"Ayo." Fira langsung menuntun Kelina beranjak pergi dari kelas. Ternyata koridor dan sekitar sekolah masih sangat ramai dengan murid yang berbubaran.
Beberapa menyapa Kelina dan Fira. Tetapi Fira lah yang paling antusias menanggapi. Kelina hanya merespon sapaan seadanya. Fira tahu sahabatnya itu pasti tengah merasa murung.
Langkah Fira dan Kelina melambat sampainya di dekat gerbang sekolah. Ada Aftab dan Chintya di sana sedang berbincang. Lagi-lagi mereka terlihat akrab. Bahkan Chintya pun akhirnya menaiki motor Aftab. Kelina melihatnya jelas. Tetapi tidak ada helm motif bunga-bunga kecil yang Aftab bawa biasanya untuk Kelina.
Fira menepuk dahinya. Hadeuh! Masalah! keluh Fira.
"Kel? Kel? Lo pulang sama gue aja ya? Kebetulan gue hari ini dijemput sama supir. Lo bisa kok bareng."
Kelina tersenyum miris, menatap sahabatnya itu. "Makasih, Fir. Tapi, gue naik angkutan umum aja."
"Kelina ... Lo--"
"Gue gak apa-apa, Fir."
Fira mengeluh gusar. Dia masih saja tidak mengerti dengan Kelina. Anak itu sering keras kepala.
"Iyaudah. Tapi, gue temenin sampai lo dapet angkutan umum di depan ya."
Kelina tersenyum, mengangguk.
Mereka berdua melanjutkan ke depan gerbang. Menuju tempat di mana Kelina akan menemui angkutan umum menuju rumahnya. Aftab dan Chintya sudah jalan terlebih dahulu dari sana. Pikiran Kelina jadi kembali pada dua orang itu.
Aftab tidak membawa helm motif bunga kecil itu. Apa mungkin dia sengaja tidak berniat menumpangi Kelina? Bahkan Aftab yang biasanya berusaha menemui Kelina, sekarang tidak sama sekali. Mengapa anak itu berubah begitu cepat? Bukankah kemarin Kelina merasakan bahwa dirinya adalah orang yang paling spesial? Lalu, sekarang roda berputar begitu saja.
Aftab hari ini lebih sering menemui Chintya. Dan seperti yang sekarang Kelina ketahui, faktanya mereka pernah saling mencintai. Apa mungkin Aftab akan kembali pada Chintya?
Kelina seperti merasa dijauhi oleh Aftab hari ini. Tetapi kenapa? Apa alasannya? Apakah Kelina melakukan sebuah kesalahan? Kelina tidak mungkin menanyakannya pada Aftab. Dia tidak memiliki hak untuk itu. Aftab belum pernah seperti ini sebelumnya.
Fira di sebelahnya, mengembungkan pipi frustasi. Teman sebangkunya ini pasti sedang berkecamuk dengan pikirannya, Fira sudah bisa menebak dari raut wajah. Dia tidak bisa melihat Kelina terus begini.
Tiba-tiba seulur tangan menarik Kelina begitu saja dari belakang. Kelina sedikit terkejut.
"Eee-eh ... Kak Alde?" Kelina mengerutkan dahinya.
"Pulang sama gue."
"Hah?" Kelina masih bingung. Dia terus dituntun berjalan oleh Alde. Kelina langsung menoleh ke belakang sana. Bagaimana dengan Fira? Masa iya Kelina meninggalkannya?
"Fir?"
Fira malah melambaikan tangannya penuh ceria di sana. "Iya! Gapapa, Kel. Hati-hati di jalan!" Pasti Fira meledekinya. Huh, dasar menyebalkan.
Alde dan Kelina berjalan di trotoar masih tidak jauh dari sekolah. Pikiran Kelina masih banyak pertanyaan. Bagaimana bisa Alde tiba-tiba muncul sendirian, mengajak pulang bersamanya?
"Kak Alde, kita pulang naik apa?" Kelina memutuskan bertanya.
"Jalan kaki."
"Tapi--"
Alde langsung menatap Kelina begitu lekat. "Kenapa?"
Kelina menelan ludah saat melihat aksen dingin Alde dari dekat. "Gak. Gapapa."
Kelina baru sadar, wajah tampan Alde tersembunyi di balik kaca matanya. Kelina masih menatap Alde yang sudah tidak acuh padanya itu. Tangan Kelina masih tertaut di jemarinya. Seperti ada semilir yang mengalir cepat di darah Kelina.
Kelina jadi ingat ketika dia dituntun kedua anak laki-laki dahulu. Salah satunya adalah Alde, dan tepat di sebelah kanan Kelina ada Kak Ghani--kakaknya. Kelina begitu ceria mengambil posisi di tengah tuntunan. Dia mengayunkan kedua tangannya begitu bahagia.
"Pokokna Kak Ghan sama Kak Ade halus tuntun Lina telus ya!"
Kelina yang masih cadel itu berucap dengan bawel. Kedua anak laki-laki itu hanya tertawa menggeleng melihatnya.
Kelina sangat merindukan hal itu. Kenangan itu. Apa dia bisa mengecapnya kembali? Kelina tahu, hanya tinggal Alde yang dapat menuntunnya seperti sekarang. Karena Kak Ghani yang harusnya di sebelah kanan Kelina, sudah tiada lagi.
"Gue diterima buat lanjut study ke luar negeri."
Kelina mengerutkan dahi, sedikit terkejut tak percaya. Apa yang Alde katakan tadi? Kelina terkekeh sedikit miris.
"Bagus dong, Kak. Lo bisa wujutin impian lo. Tinggal hitungan bulan lo udah ujian, terus lo gak perlu mikirin lagi gimana buat dapetin study kesana. Selamat ya, Kak."
Kelina tersenyum kecut. Itu tandanya, Alde akan meninggalkannya. Sempurna sudah. Tuntunan tangan kiri yang tadi sempat Kelina pikir masih ada hingga sekarang, pada kenyataannya itu cepat atau lambat akan lenyap lagi.
Alde melihat sekilas genggaman tangannya. Sedari tadi Alde menyadari raut wajah Kelina.
"Gue tau. Pasti lo inget."
"Lina," lanjut Alde.
Kelina tidak tahu harus senang atau sedih. Alde ternyata juga mengingatnya. Lina adalah panggilan yang paling spesial bagi orang-orang yang sayang pada Kelina. Hanya orang terdekat memanggil Kelina dengan nama itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Teen Fiction[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...