Pekat

40 4 2
                                    

Motor besar Aftab melaju, berkelok masuk ke dalam perumahan tempat tinggal Kelina. Bahu Aftab yang sedari tadi terpapah oleh dagu Kelina, sekarang harus berakhir. Berjarak beberapa rumah, mereka pun sampai.

Langit sudah meredupkan terik yang sedari tadi menyengat. Gumpalan awan pun sudah berubah menjadi kegelapan. Kelina turun dari motor Aftab sesampainya di depan pagar rumah sana. Mereka membuka helmnya. Kelina menyodorkan helm motif bunga kecil-kecil itu pada Aftab.

"Lo bawa aja, Kel," tolak Aftab.

"Serius?"

Aftab mengangguk.

Kelina tersenyum. "Makasih ya."

"Sama-sama."

Aftab berbalik di sana. Berniat kembali mengambil helm full face-nya. Tetapi Kelina bingung, dia merasa berat hati. Sejujurnya masih ada yang mengganjal di benaknya. Terlebih itu mengenai Aftab. Apa Kelina harus tanyakan saja pada orangnya langsung?

"Af?"

Aftab yang baru saja mau memakai helmnya kembali, terhenti. Kelina berhasil membuat Aftab menoleh. Kini pemuda itu bergumam menaikkan sebelah alis, menatap Kelina sepenuhnya.

"Gue udah tau tentang lo sama Chintya."

Aftab terdiam.

"Kenapa lo gak pernah cerita sama gue?"

Aftab mengusap wajahnya gusar. Dari mana Kelina tahu mengenai itu coba? Untuk apa juga Kelina menanyakannya?

"Itu hal yang gak perlu untuk diceritain, Kel."

"Tapi gue mau dengar dari lo langsung, Af."

"Itu cuma masa lalu," elak Aftab.

Kelina masih bersih keras, menatap Aftab seolah meminta penjelasan disana. Salahkah Kelina ingin mendengarnya langsung dari mulut Aftab?

Aftab menghela napas panjang. Baiklah, Aftab mengalah. Ia menangkup kedua bahu Kelina di sana. "Lo pernah tanya ke gue kan, kesalahan apa yang paling gak bisa gue maafin? Dan gue jawab kalau seseorang pergi gitu aja. Tanpa alasan saat gue benar-benar ingin dia ada di samping gue?"

"Itu rasa sakit yang sama saat Ayah gue pergi gitu aja. Dan Chintya--perempuan itu ... membuat gue ngerasain itu lagi. Dia yang ninggalin gue, Kel," lanjutnya.

Kelina menatap kedua manik mata Aftab sangat lamat. Kelina bisa melihat, Aftab begitu dalam mengatakannya. Kelina dapat merasakannya dan Kelina juga yakin, sebenarnya ada yang tersimpan di hati paling kecil dalam Aftab. Tetapi, pemuda itu tidak menyadarinya. Kelina tahu pasti, sesungguhnya Aftab tidak membenci Chintya sepenuhnya.

"Lo masih kesal sama Chintya?"

Kalau jawabannya 'iya' berarti itu tandanya...

"Masih lah."

Jleb!

Seperti ada sebongkah batu yang mencekat tenggorokkan Kelina. Apa yang Kelina sangka itu benar? Kelina kini sadar, mendengar penyataan itu langsung dari Aftab bukanlah opsi yang tepat. Ada yang terasa sakit di sisi diri Kelina. Apa harus Kelina menyesalinya?

"Lo jangan begitu ya."

Aftab tersenyum coba meyakinkan Kelina. Kelina membalas senyum itu. Bagaimanapun Aftab tidak boleh tahu isi benak Kelina.

"Iyasudah lo boleh pulang sekarang, Af."

Aftab mengangguk. "Kalau gitu gue balik dulu ya."

Kelina membiarkan Aftab berbalik di sana. Pemuda itu kembali menaikki motornya. Tak butuh waktu begitu lama, Aftab melaju meninggalkan perumahan Kelina.

Kelina masih diam di tempat berdirinya. Helm motif bunga kecil-kecil yang sekarang menjadi hak miliknya itu masih berada di tangkupan Kelina. Dia masih bingung dengan semua yang ada dipikirannya.

Lo keliru, Af. Lo gak benci sama Chintya. Lo cuman masih gak ikhlas bahwa Chintya ninggalin lo. Gue yakin masih ada setitik ruang hati lo yang terjebak di masa itu. Dan itu cukup buat lo gak sadar selama ini.

Lalu, apa mungkin lo masih menyimpan rasa sama Chintya? Gue pun gak tahu jawabannya, Af.

Kelina menggelengkan kepalanya. Dia harus cepat menghempaskan semua pikiran itu. Lagi pula itu bukan masalah untuk Kelina seharusnya. Dia hanya menganggap Aftab teman. Tidak lebih. Kelina tidak punya hak untuk menerka perasaan Aftab yang sesungguhnya. Terserah Aftab, siapa yang ingin ia cintai.

Kelina memutuskan beranjak masuk ke dalam rumah. Lima hari kedepan dia akan tetap berada di rumah. Kelas dua belas akan melaksanakan ujian. Para adik kelas pun mendapat bagian libur. Mungkin itu waktu yang cukup untuk menghilangkan semua benak Kelina hari ini.

Di sisi lain, jauh berada di sana. Aftab sibuk mengendarai motor besarnya menuju rumah. Ia tidak butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumahnya itu. Jalanan kota melengang sore ini. Mungkin karena langit yang mulai mendung. Aftab mengerutkan dahi di balik helmnya saat melihat Vanya berdiri tepat di depan pagar rumah Aftab.

Aftab berhenti di hadapan gadis itu. Ia membuka helm demi menatap tajam Vanya. Aftab sangat muak dengan keberadaannya.

"Ngapain lo di sini?"

Vanya malah terkekeh di sana. "Aftab ... Aftab ... Lo masih aja dekat sama si gadis malang itu."

"Bukan urusan lo!"

"Oh, bukan urusan gue?" Vanya menyeringai.

Aftab amat geram melihat ekspresi tersebut. "Sampai lo macem-macem sama Kelina, awas lo!"

Vanya tidak menjawab. Dia hanya memasang raut meremehkannya.

"Tunggu!"

Aftab yang tadinya berniat untuk kembali melajukan motornya, gagal karena Vanya lebih gesit mencabut kunci motor Aftab. Gadis itu tertawa puas, memainkan kunci tersebut di jemarinya.

"Gimana ya kalau Kelina tahu kalau nyokap lo adalah pembunuh kakaknya?"

Aftab terkejut bukan main. "Dari mana lo tau?"

"Itu bukan urusan lo."

Sial! Gadis di hadapannya itu memang benar-benar licik. Tangan Aftab yang tadi mencengkram stang motor, mengepal keras.

"Lo boleh kok dekat sama si gadis malang itu."

"Boleh banget malah," lanjut Vanya.

Vanya tak berhenti menyeringai. Dia mengembalikan kunci motor itu pada tempatnya. Melihat wajah geram Aftab saat ini bagi Vanya adalah sebuah kemenangan.

"Tapi ... ada syaratnya."

















REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang