Menghitam (2)

97 9 1
                                    

Deru motor Aftab berhenti di depan pagar rumah bercat hitam. Kelina mencoba melihat rumah itu.

"Ini rumah Chintya?" tanya Kelina.

Aftab mengangguk sebagai jawaban. Kelina pun turun dari motor besar Aftab. Dia melepas helmnya, begitu juga Aftab menyusul.

Aftab menuntun Kelina ke sisi ujung pagar disana. Kelina baru menyadari, ada bel di dinding pagar itu. Aftab memencetnya. Bagaimana pemuda itu tahu ada bel di sana? Apa dia pernah berkunjung ke rumah ini sebelumnya?

Selang beberapa menit, si penghuni rumah keluar. Chintya dengan seragam yang masih terbalut di tubuhnya, membuka pagar. Sepertinya Chintya juga belum lama baru sampai di rumahnya.

"Gue langsung balik ya," ucap Aftab pada Kelina.

Tanpa menunggu anggukan Kelina selesai, Aftab telah beranjak. Ia kembali menaikki motornya, melesat pergi begitu saja. Kelina sempat bingung dengan sikap Aftab barusan. Sebenarnya ada apa dengan anak itu?

"Ayo, Kel. Masuk."

Instrupsi Chintya berhasil membuyarkan Kelina seketika. Kelina langsung melangkahkan kaki, mengekori Chintya.

Rumah Chintya terlihat begitu elegan menurut Kelina. Pada nyatanya, rumah Kelina tak sebagus rumah yang dipijakkinya saat ini. Rumah itu cukup luas. Kelina dapat lihat segala detail setiap sudutnya. Itu cukup memukau. Pasti Chintya adalah gadis yang sangat beruntung, pikir Kelina.

"Gue ke belakang dulu ya. Lo duduk aja. Anggap aja rumah sendiri," ujar Chintya.

Kelina hanya mengangguk, mengiyakan.

Seusai di dalam rumah, Kelina yang di tinggalkan sang penghuni rumah itu memutuskan duduk di sebuah karpet bulu sisi ruangan. Chintya tidak membiarkan Kelina di ruang tamu, namun gadis itu membawa Kelina ke ruang tengah yang tampak lebih nyaman. Mungkin itu ruang keluarga, tebakkan Kelina.

Tepat di tengah karpet bulu itu terdapat meja di sana. Kelina meletakkan ransel toskanya, mengeluarkan buku sketsa beserta alat gambar.

Baiklah, Kelina akan mencoba memulainya. Sekarang Kelina tengah berpikir, kira-kira apa yang cocok dibuatnya untuk tugas Seni Budaya ini. Kelina mengetukkan pensil di dagu, terus menatap kertas putih buku sketsa di hadapannya. Dia belum mendapatkan ide sama sekali.

"Ini minum, Kel."

Kelina menengok. Chintya membawakannya segelas sirup. Kelina tersenyum. "Terima kasih."

Dengan senang hati, Kelina meminumnya. Chintya yang telah duduk di samping Kelina pun meletakkan alat gambarnya juga di meja.

"Tadi lo diantar Aftab?"

Kelina mengangguk, demi menjawab pertanyaan Chintya.

"Lo udah deket banget ya sama dia?"

Kelina bergumam tidak menjawab.

"Gue liat kok, pas Aftab kasih nasi goreng ke lo saat jam istirahat. Gue juga tau, buku sketsa lo itu dikasih sama dia."

Kelina hanya tersenyum canggung, mengangguk. Meskipun Chintya berbicara cukup ramah padanya, tapi topik pembicaraannya kali ini cukup membuat Kelina bingung harus menjawab apa.

"Eum ... Lo kenal Aftab?" Kali ini Kelina bertanya.

Dapat Kelina lihat, Chintya seperti tersenyum miris disana. Seperinya ada sesuatu yang Kelina tidak tahu. Kelina sebenarnya malas untuk bertanya-tanya. Terlebih itu menyangkut urusan pribadi seseorang. Tapi, mengapa dia merasa penasaran juga?

"Iyasudah ... Kita jadi ingin buat konsep apa?" Chintya mengalihkan pembicaraan.

~~~

REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang