Mentari

109 11 0
                                    

~☆~

Ia adalah mentari. Sedangkan aku, rembulan.

~☆~

Kelina berdiri di depan kelas Aftab dengan jaket yang telipat rapih di tangannya. Kelas Kelina sudah keluar terlebih dahulu ketika bel pulang sekolah berdering sepuluh menit yang lalu. Namun, kelas Aftab kayaknya baru saja menyelesaikan kegiatan belajar mengajarnya saat ini.

Kelas Aftab berbubaran keluar. Beberapa menyapa Kelina. Kelina dengan senang hati membalasnya. Sebenarnya hanya sedikit dari yang menyapa Kelina kenali. Tapi, ya ... tidak ada salahnya juga kan bersikap ramah tamah pada siapa pun.

Aftab yang Kelina tunggu sedari tadi akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Pemuda itu menatap Kelina sedikit bingung.

"Sumarni?"

Kelina langsung melotot, satu tangannya memukul lengan Aftab. "Kelina! Nama gue Kelina."

Aftab terkekeh. "Lo mau ngapain?"

Kelina terdiam sesaat, menggigit bibir bawahnya. Dia sedikit gugup mengatakannya pada Aftab. "Gue ... pengen minta maaf soal tadi ... Sama mau balikin jaket lo."

Aftab tersenyum. "Pakai aja lagi jaketnya, langit mulai mendung lagi kayaknya. Lo ikut gue ya?"

Dahi Kelina berkerut. "Kemana?"

"Bikin rumah-rumahan." Tanpa persetujuan, Aftab menarik Kelina beranjak begitu saja dari tempat mereka berdiri.

"Tapi, gue gak bisa balik telat, Af."

"Iya. Nanti gue antar lo balik gak sore-sore."

"Jam empat sore?" Kelina seolah minta perjanjian.

"Iya. Jam empat sore lo balik."

Kelina merasa puas dengan jawaban Aftab. Dengan begitu dia tidak perlu khawatir lagi pulang larut sore. Kelina tidak ingin kemarahan Arsen di rumah menjadi resikonya.

Seusai sampai di parkiran sekolah, tepat di samping motor hitam Aftab, pemuda itu langsung memakaikan helm pada Kelina. Kelina menaikkan sebelah alisnya. Kelina baru lihat helm ini dan lebih anehnya lagi helm itu kebetulan pas dengannya.

"Sejak kapan lo bawa helm lagi?" Kelina bertanya.

"Sejak lo mulai singgah di motor gue. Lo gak lihat itu gue beliin ada motif bunganya kecil-kecil?"

Kelina masih tidak mengerti sebenarnya. Kelina memang tahu ada motif di helm putih yang dipakainya. Tapi, untuk apa Aftab membelikannya untuk Kelina?

"Ah, paling buat cewek lain juga kalau ada yang mau nebeng sama lo," sergas Kelina.

"Kenapa? Cemburu?"

"Enggak!"

"Oh, gitu?" Aftab tampak menggodanya. "Tapi, emang iya, sih. Kayaknya gue sering boncengin cewek lain."

Kelina memutar bola matanya malas. Dia mencoba tidak mempedulikan ucapan Aftab. Paling pula pemuda itu tengah mencandainya.

"Boncengin ibu gue." Detik itu juga tawa Aftab pecah.

Kelina hanya menanggapi Aftab dengan tatapan tajam. Dia tidak menyangka segaring itu leluconnya. Itu sama sekali tidak lucu bagi Kelina.

Sepuluh detik, Aftab mencoba meredakan tawanya.

"Tapi, gue tuh beliin lo helm bunga-bunga gini sebenarnya biar lo gak kelihatan serem. Kayak nenek lampir ngomel mulu."

"Aftab!"


~~~


Kelina turun, melepas helmnya disusul oleh Aftab. Kini mereka telah sampai di sebuah rumah yang cukup tampak luas dan elegan. Kelina menyusuri pandangannya pada perkarangan rumah tersebut. Rumah itu sangat menarik baginya.

"Welcome to my house!" Aftab seolah memberi sambutan pada Kelina. Ia langsung mengajak Kelina memasuki rumahnya.

"Ikut gue ke taman belakang ya," kata Aftab.

Kelina hanya mengikuti. Dia tidak banyak membantah. Terserah pemuda aneh ini membawanya kemana. Tapi, siap-siap saja jika dia berani melakukan macam-macam. Tak ada ampun dari Kelina.

Kelina masih sibuk menyusuri pandangan. Rumah cantik ini sepertinya sedang sepi. Kelina tidak melihat seorang pun sekelibat di rumah ini.

"Orang tua lo mana, Af?" Kelina membuka suaranya.

"Mama kerja."

"Ayah lo?"

"Sudah meninggal sepuluh tahun lalu."

Kelina bungkam sesaat, apakah dia salah bicara? "Maaf."

"Gapapa. Lo tunggu di sini, ya. Gue ambil alat di kamar atas. Sekalian ambil minum buat lo."

Kelina mengangguk. Sekarang dia sudah di taman belakang rumah Aftab. Taman yang cukup indah. Kelina terus melihat seluruh detail bagian rumah itu usai Aftab hilang dari hadapan.

Ada kolam ikan dan ayunan di sana. Tapi yang buat Kelina tertarik dan penasaran adalah rumah-rumahan kayu berukuran 1,5 x 1,5 meter di sudut taman sana. Itu bagunan apa?

Untuk menghilangkan rasa kepo-nya itu, Kelina putuskan tuk menghampiri. Dari fisik rumah kayu itu bisa disimpulkan bahwa rumah itu baru saja selesai dibuat. Rumah kayu itu masih kosong hampa.

"Ini minum."

Kelina menoleh. Aftab datang mengulurkan segelas es jeruk padanya. Satu tangan Aftab lainnya mengangkat sebuah box berisi peralatan. Kelina lihat di box itu juga banyak berisi pernak pernik.

"Terima kasih." Kelina menerima minuman yang diberi Aftab. Dia memperhatikan dengan seksama, ketika Aftab menaruh box di tangannya itu di bawah rumah kayu.

"Pokoknya lo harus bantuin gue menghias rumah kayu ini," ujar Aftab.

Kelina menyeringai. Jadi, itu tujuannya Kelina diajak ke sini? "Lo mau rumah kayu ini gue bikin bunga-bunga?"

Aftab langsung menyergah "Gak! Lo gak liat box itu? Pernak perniknya banyak planet-planet? Gue mau rumah kayu ini dihias dengan tema antariksa."

Kelina mengangguk paham. "Oh, gitu?"

"Iya. Sudah, ayo, bantuin gue."

Aftab langsung menarik Kelina masuk ke dalam rumah kayu. Ada beberapa kaleng cat di sana. Tapi sebelumnya Aftab mengambil sesuatu di sudut lain. Sebuah mantel plastik. Aftab menyodorkannya pada Kelina.

"Pakai. Biar catnya gak kena baju lo."

Kelina menurut. Aftab pun ikut memakainya. Mereka memulai dengan warna navy kehitaman untuk dilapisi pada atap dan dinding dalam rumah kayu itu.

"Nih, nanti lo sesak bau cat." Kali ini Aftab mengulurkan satu buah masker ke Kelina.

Kelina menggeleng. "Gak usah. Lagian catnya gak bau."

"Beneran? Nanti kalau sesak bilang," Aftab memastikan.

"Iya."













------------------------------

A.n :

Aku sesak bang...
Liat kamu sama dia...😢
*plak😂

Wkwkwkwk...

Tinggalkan jejak!🙆

REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang