Jam delapan pagi lewat tujuh belas menit. Kelina masih di dalam kamar, menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini sepertinya menjadi hari pertama Kelina bolos di semester dua. Wajahnya terlihat tidak baik-baik saja. Itu penyebab mengapa Kelina tidak pergi ke sekolah.
Semalam Arsen pulang sangat larut saat pukul dua dini hari. Kelina belum tidur pada waktu itu. Mengingat kejadian yang tidak mengenakkan kemarin, ketakutan Kelina kembali muncul begitu saja.
Ketakutan itu mungkin sudah seperti penyakit yang diidapnya. Pagi-pagi Kelina bangun dengan wajah yang sudah terlihat mulai pucat. Namun begitu, Kelina tidak akan absen membuatkan sarapan untuk Arsen--Ayahnya. Meskipun Kelina juga tahu tidak jarang Arsen mengabaikannya.
Usai Kelina membereskan rumah. Kelina kembali ke kamarnya. Pikirannya masih berkecamuk. Kelina melihat jaket toska yang diberikan Alde dari pantulan cermin. Manik mata Kelina mulai berkaca. Sesungguhnya dia merasa lelah dengan apa yang terjadi dengannya.
Suara-suara yang terngiang semalam masih Kelina ingat. Susah payah dia meredakannya sendiri, sebelum akhirnya Kelina kelelahan dan terlelap.
Kelina meraih gunting di atas mejanya. Dia merubah potongan rambut panjangnya. Secara perlahan, rambut Kelina berubah menjadi pendek sebahu dengan poni di keningnya. Kelina sudah terbiasa melakukan ini ketika dia mulai merasa amat lelah dengan dirinya sendiri.
Mungkin sedikit merubah penampilannya dapat sedikit melupakan bahwa dirinya adalah orang yang sama.
Kamu membunuh kakakmu sendiri! Dia mati hanya karena ingin menyelamatkanmu dari hal bodoh yang kamu lakukan! Semua hancur sekejap! Lalu, apalagi? Ayah membencimu. Kedua orang tuamu bercerai karena kamu. Mama sakit. Orang-orang membencimu. Apa itu belum cukup?
"Kelina!"
Seseorang yang entah datang dari mana sekejap menarik Kelina, menghempaskan gunting yang digenggamnya.
Kelina kini menangis. Suara di kepalanya kembali. Kelina menatap orang itu. Dia sedikit terkejut.
Orang itu Aftab. Pemuda tersebut lengkap dengan seragam sekolahnya. Menerobos masuk dari jendela kamar Kelina.
"Pergi!" Kelina dengan keras mendorong Aftab.
"Lo gila ya? Lo mau bunuh--"
"PERGI!"
Kelina menutup kedua telinganya rapat-rapat. Ngiangan itu terus menusuknya. Lutut Kelina melemas. Dia semakin terisak ketakutan.
"Gak, Kel. Gue gak akan pergi," ujar Aftab. Ia kembali mendekati Kelina dengan cepat, mencoba merengkuhnya.
"Gue gak akan biarin lo sendirian. Jangan takut. Gue ada di sini."
Saat itu juga Kelina luruh di rengkuhan Aftab. Pemuda itu membiarkan bahunya dibasahi oleh air mata Kelina. Aftab mempererat rengkuhannya ketika Kelina semakin terisak. Telapak tangannya terulur mengusap puncak kepala Kelina. Berharap itu dapat meredakan tangisnya.
Tak ada sepatah ucapan pun setelah itu. Hingga satu jam berlalu, sisa sesegukkan Kelina mereda. Masih dalam rengkuhannya, Kelina memberanikan diri menatap Aftab.
Pemuda itu tersenyum. "Sudah nangisnya?"
Kelina mengusap sisa air matanya yang mulai mengering, melepaskan rengkuhan Aftab.
"Kenapa ... " Kelina menggantungkan kalimatnya. Suara Kelina masih terdengar bergetar.
Aftab masih menatap gadis bermata sembap di hadapannya itu. Menunggu ucapannya.
"Kenapa lo ada di sini?" lanjut Kelina.
Aftab tersenyum sedikit terkekeh, meraih tangan Kelina.
"Itu gak penting. Yang penting, lo ikut gue sekarang."
Kelina mengerut bingung. "Kemana?"
"Ke Ladang."
Bahkan belum sempurna kebingungan Kelina. Aftab sudah menarik lembut untuk beranjak bangun ikut dengannya tanpa banyak protes.
~~~Ladang ilalang yang luas terlihat menguning. Ada pohon teduh yang besar di tengahnya. Sudah tidak asing lagi tempat itu untuk Kelina. Tempat itu masih sama seperti terakhir kali Kelina ke sini.
Sesampainya turun dari motor Aftab, Kelina dituntun mengekori pemuda itu, duduk di bawah pohon teduh di sana. Seperti biasa, Aftab menyuruh Kelina berteriak sekencang-kencangnya usai dia melakukan itu terlebih dahulu. Katanya itu akan menjadi seluruh luapan emosi yang terpendam dalam dirinya.
Kelina hanya tersenyum, turut melakukan apa yang Aftab minta. Dia terkekeh menggeleng menatap pemuda itu. Dasar pemuda aneh, pikirnya.
Aftab terus tersenyum setelah Kelina meredakan tawa. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat.
"Maafin gue ya," ujar Aftab.
Kelina terdiam. Apa maksudnya?
"Gue tahu apa yang terjadi sama lo kemarin. Gue minta maaf."
Kelina dapat melihat wajah bersalah Aftab di sana. Namun lidah Kelina sekejap terasa kelu. Seperti ada sebongkah rasa sakit yang tersangkut dalam tenggorokannya.
"Gue minta maaf gue baru tau tadi pagi. Gue telat. Gue minta maaf karena gue--"
"Lo jahat," Kelina memotong. Bibirnya mulai bergetar lagi. Dia kembali teringat apa yang terjadi dengannya kemarin. Kejadian yang membuatnya semalaman tersiksa oleh ketakutan. Sungguh, itu sangat cukup menyiksa untuk Kelina.
Mengingat itu membuat mata Kelina mulai berkaca.
"Gue gak tau masalah lo apa, Af. Bahkan hidup gue udah rumit, dan kemarin--"
"Vanya saudara tiri gue, Kel. Ayah gue adalah Ayah Vanya juga. Bahkan gue gak tau ceritanya bakal kayak gini," potong Aftab. Ia sedikit menghela napas untuk menjedanya. Iya, Aftab akan menjelaskan semuanya pada Kelina.
"Sepuluh tahun lalu Ayah gue ninggalin Mama gitu aja. Sampai gue duduk di bangku SMP, gue ketemu Vanya di rolling class. Kita sebangku dan bersahabat cukup baik. Tapi, itu berubah saat Vanya nyatain perasaan dia yang sesungguhnya ke gue. Gue masih gak nyangka karena selama itu gue cuma anggap dia sebagai sahabat gue. Sampai gue ketemu Ayah gue lagi sama Vanya. Dan Vanya manggil dia dengan panggilan 'Papa'. Semenjak Ayah gue tau itu, Ayah gue coba nemuin gue dan Mama gue. Vanya pun kaget. Dia terus gak terima kalau gue gak bisa dekat sama dia lebih dari seorang saudara."
Bendungan Kelina runtuh. Air matanya menetes dengan sempurna ke pipi. "Kenapa lo baru cerita sekarang, Af?"
Aftab menggeleng. Tangannya terulur lembut mengusap air mata itu. Ia tidak suka melihat gadis di hadapannya ini menangis. Terlebih yang membuatnya menangis adalah dirinya sendiri.
"Karena gue datang bukan untuk ngasih beban gue, Kel. Gue ingin ikut mengangkat beban lo sebisa gue. Gue gak mau liat lo rapuh."
"Maaf. Kalau nyatanya gue malah nambah beban lo."
"Lo orang yang gue percaya, Af. Lo udah gue anggap sebagai teman gue sendiri." Kelina menurunkan satu tangan Aftab dari pipinya.
"Tapi gue lebih dari itu, Kel," ujar Aftab. "Gue sayang sama lo."
Kelina seketika bungkam. Jujur, Kelina tidak mengerti dengan apa yang sedang dirasakannya. Air mata Kelina masih menetes di sana. Lalu, apa yang diucapkan Aftab barusan?
Apakah Aftab benar-benar menyayanginya? Atau lebih tepatnya, apakah Kelina memiliki rasa yang sama dengan Aftab? Kelina tidak tahu.
Kelina masih menatap manik mata Aftab. Ia begitu terlihat tulus. Aftab tersenyum.
"Lo gak perlu jawab apa pun, Kel. Lo gak perlu balas apa pun. Cukup anggap gue teman lo. Itu sudah cukup buat gue. Jangan pernah menjauh dari gue. Cukup biarkan gue jagain lo sebisa gue. Selebihnya lo gak perlu lakukan apa pun untuk gue."
![](https://img.wattpad.com/cover/170722825-288-k876920.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
Novela Juvenil[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...