Kelina mengguratkan sebatang pensil pada kertas putih buku sketsa miliknya. Kali ini dia akan coba menggambarkan rembulan di sana. Jam dinding di kamar Kelina sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kelina yakin, itu mungkin sudah cukup untuk rembulan menerang indah di atas langit hitam kebiruan.
Kelina berpeluh lega. Gambar itu telah sempurna. Lihat, sketsa rembulan Kelina tidak terlalu buruk. Itu akan menjadi maha karyanya yang ke empat tuk empat hari terakhir ini.
Iya, Kelina sudah menghabiskan beberapa kertas di buku sketsanya. Lalu, hari ini terhitung yang ke empat tuk Kelina seharian penuh berada di rumah. Menurut Kelina itu termasuk hal biasa. Membosankan? Jikalau begitu, mungkin sudah dari dahulu Kelina tidak betah seperti ini. Tetapi, Kelina justru sangat menikmatinya.
Kelina menyukai ketentraman ketika dirinya tengah sendiri, tanpa ada beban pikiran apapun mengenai keadaan di luar sana. Dengan mengisi waktu oleh kesibukan hobinya, itu lebih dari cukup untuk Kelina.
Bicara tentang rembulan, Kelina jadi ingin melihatnya. Pasti sangat indah di langit kelam sana. Kelina sadar ini adalah tanggal pertengahan bulan. Itu tandanya rembulan sedang berada di siklus membulat sempurna.
Kelina tidak ingin menyia-nyiakannya kali ini. Kelina merapihkan semua alat tulis dan bukunya di atas meja belajar. Dia beranjak menuju jendela kamar. Mungkin Kelina bisa melihat dari sana.
Kelina menyibak kain gordin. Dahinya langsung berkerut. Kedua matanya langsung menangkap seorang pemuda jakung dengan motor besar di depan pagar rumah Kelina.
"Aftab?"
Kelina memutuskan berlari keluar kamar. Dia berniat menemui Aftab di sana. Arsen belum pulang untuk saat ini. Tetapi lebih gawat jika Aftab sampai bertemu dengan Arsen. Kelina harus menghampiri Aftab di luar rumah.
Aftab sepertinya sudah menyadari kehadiran Kelina. Pemuda itu menatap Kelina dari kejauhan. Tak butuh waktu lama, Kelina membuka pagar rumahnya. Dia sekarang berdiri tepat di hadapan Aftab.
"Lo ngapain ke sini, Af?" tanya Kelina.
"Gak apa-apa. Mau lihat senyum lo aja."
Kelina berkerut tidak mengerti.
"Tuh, lo gak mau senyum kan."
Kelina berdecak. Aftab memang selalu aneh. "Iyaudah, iya."
Kelina melengkungkan bibirnya dengan terpaksa.
"Makasih."
Aftab tersenyum tipis di sana. Aftab selalu puas karena Kelina tidak menolak permintaannya. Kelina tahu Aftab tak jarang melakukan hal ajaib menurutnya. Tetapi kali ini pemuda itu tidak seperti biasanya. Kelina bisa membaca alir raut wajah Aftab.
"Serius, Af. Lo ngapain di sini?"
Aftab diam. Tidak menjawab. Itu menandakan kecurigaan Kelina benar. Aftab pasti sedang tidak baik-baik saja.
"Lo kenapa?" Kelina bertanya kembali.
Aftab memberi waktu untuk jawabannya. Kelina meraih lengan Aftab di sana. Coba meyakinkan pemuda itu.
"Gue butuh lo, Kel," ujar Aftab.
"Kenapa? Cerita sama gue."
"Gue gak bisa cerita di sini."
"Terus?"
Aftab ragu. Ia bergumam sesaat. Kelina tampak bingung, menaikkan sebelah alisnya.
"Eum... Di taman komplek dekat sini gimana?"
"Af--"
Aftab langsung menyergah. "Iya, gue tahu kok lo gak bisa keluar malam kaya gini. Gue gak maksa, Kel."
Kelina semakin tidak paham. Dia sebenarnya tidak setuju dengan permintaan Aftab. Seperti dibilang barusan, Kelina tak bisa keluar malam layaknya sekarang.
Namun lain sisi, Kelina merasa aneh. Tumben sekali. Biasanya Aftab adalah orang yang paling memaksa yang Kelina kenal. Kali ini pemuda itu justru mengalah. Pasti ada yang tidak beres. Dia harus tahu kenapa itu.
Kelina menghela napas pelan. "Iyaudah, iya. Tapi satu jam aja. Gimana?"
Aftab menggeleng keras. "Gak perlu, Kel. Lo gak perlu paksa diri lo."
"Aftab ... "
"Kelina ... "
Kelina berdecak. "Semakin lo ngomong gak jelas gini, yang ada semakin malam. Ayok."
Kelina menarik Aftab tuk menaikki motor besarnya. Mereka tidak ada banyak waktu untuk berpikir panjang. Mereka harus bergegas. Aftab melajukan motornya, keluar perumahan. Taman itu tepat di samping komplek dan lajur yang mereka harus lalui ya keluar dari komplek lebih dulu.
Tidak ada suara di antara Kelina dan Aftab sepanjang jalan. Pikiran Kelina masih setengah tertuju pada rumah. Sejujurnya Kelina juga ragu. Kelina berharap Arsen tidak pulang lebih dulu sebelum Kelina sampai di rumah.
Semoga Arsen pulang larut hari ini.
Mereka berhenti sesampai di tempat tujuan. Taman komplek. Jam yang belum terlalu malam seperti sekarang memungkinkan masih ada orang yang lalu lalang. Taman tersebut tidak sesepi yang dikira. Beberapa pedagang asongan juga tampak masih berjualan.
Kelina dan Aftab memilih salah satu kursi taman tak jauh dari tempat motor Aftab terparkir. Kelina menatap Aftab dengan lekat. Pemuda itu murung sekali.
"Kenapa, Af?" tanya Kelina.
"Gue lagi bingung, Kel. Gue bingung sama jalan hidup gue sendiri. Gue baru sadar dunia ini tuh berasa sempit banget."
Aftab menghela napas. "Apa adil itu berlaku di jalan hidup gue sekarang?"
"Lo--" Jari telunjuk Aftab langsung terjulur memotong ucapan Kelina.
"Biarin gue ngomong dulu, Kel."
Kelina sempat berkerut, situasi seperti ini masih saja Aftab berlaku aneh.
"Gue baru sadar. Mentari tanpa teman dikala siang di langit sana. Awan hanya berteman dengan bumi."
"Iya, gue tahu yang membuat Awan ada itu Mentari. Tetapi dia lebih dekat sama bumi. Lalu akhirnya Awan jatuh juga ke bumi dalam wujud rintikan air. Jadi, siapa yang mau berteman dengan Mentari, Kel?"
"Af--" Lagi-lagi ucapan Kelina dipotong oleh Aftab.
"Maafin gue ya." Aftab coba meraih tangan Kelina di sana. Pemuda itu menatap penuh arti kedua mani mata Kelina.
"Apapun yang terjadi nanti. Jangan pernah benci sama gue, Kel."
Driingg...
Tepat saat itu, handphone Kelina berdering. Untung Kelina siap siaga menaruh handphone itu dalam saku. Tangan Kelina gesit beralih, mengambil benda pipih tersebut.
Arsen.
Kelina terkejut bukan main, nama itu tertera di layar handphone-nya.
"Af, gue harus pulang sekarang!"
![](https://img.wattpad.com/cover/170722825-288-k876920.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REMENTANG
أدب المراهقين[ Akan direvisi ] REMENTANG ( Rembulan, Mentari, & Bintang ) Dan dia adalah Mentari yang memberikan sinarnya padaku--sang Rembulan. Yang kemudian sosok lain itu sebuah gembintang yang benerang sangat indah dengan sendirinya. Walau begitu, malam teta...