3. Cake

263K 16.6K 924
                                    

Pagi ini, menjadi pagi yang tak indah kembali bagi Rindu. Ia mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya untuk mencari barangnya yang hilang—kunci itu. Rindu mengacak-acak rambutnya sendiri. "Itu kunci dimana sih?"

Rindu ingat betul, kunci itu adalah kunci yang dititipkan oleh sang utusan monster baik saat mereka kecil. Itu titipan dari Nino, ia bilang Rindu harus menjaga kunci itu baik-baik. Rindu menghela napas pasrah, karena ia belum juga menemukan kunci tersebut. "Kamu dimana sih kunci?"

Rindu mencoba mengingat-ingat kembali dimana kunci itu berada. Dimana terakhir kali ia membawa kunci itu. "Oh, terakhir disitu! Iya disitu! Tapi dimana ya?"

"Inget dong, Rin." Rindu mengetuk-etuk kepalanya sendiri, namun rasanya usahanya percuma, ia sama sekali tak mengingat dimana kunci itu berada.

Kunci yang 12 tahun ini ia simpan akhirnya hilang, bagaimana jika Nino tahu jika kunci itu hilang? Apakah Nino akan marah besar? Namun, masih pedulikah Nino tentang dirinya? Apalagi—hanya sebuah kunci yang mungkin tak ada artinya lagi bagi Nino. Tapi ini bukan masalah Nino yang akan marah, namun tentang Rindu yang tak bisa menjaganya lagi. Itu barang dari Nino yang sangat berharga, apakah itu tandanya persahabatan Rindu dan Nino juga akan hilang?

"Maafin gue, No."

Rindu berlari kearah dapur rumahnya, ia mendapat ide untuk membuat pencake buatan Rindu yang selama ini menjadi makanan kesukaan Nino, jadi anggaplah ini sebagai permintaan maaf Rindu kepada Nino karena sudah menghilangkan kunci itu.

Sebelum istirahat adalah pelajaran Seni, satu-satunya pelajaran kesukaannya karena ia tak harus lelah untuk bertemu dengan angka atau menghapal tulisan. Bu Jeni, guru pelajaran Seni menghampiri Rindu dan Reina, teman sebangkunya. "Hai Rei, masih ikut Organisasi Theater, ‛kan?"

Reina mengangguk cepat. "Iya, Bu."

"Ibu sudah bilang sama Gama dan Karrel kalau Ibu setuju dengan konsep pentas teater yang akan kalian adakan. Tapi..., dengan satu syarat."

"Apa, Bu?" tanya Reina.

"Kamu harus berhasil membujuk Gama untuk mau menjadi tokoh utama dalam pertunjukan theater itu."

Reina membulatkan matanya seolah tak percaya, kali ini ia seperti kehilangan jutaan nafasnya seketika. Membujuk Gama? Mimpi buruk apa itu?

"Gampang lah, Rei." Rindu meyakinkan Reina. Namun mata Reina masih membola kearah Bu Jeni.
"Dan yang menjadi pemeran utama sebagai Cinderella harus kamu—Rindu."

"Saya, Bu?"

"Iya."

Sekarang Rindu yang benar-benar terkejut. Mengapa harus dirinya? Ia bukan anggota eskul teater. "Saya 'kan—bukan anak theater, Bu."

"Tapi kamu punya bakat disana, Rindu. Dan setelah saya lihat-lihat, rasanya kamu yang paling cocok untuk memerankan tokoh Cinderella. Kamu mau ya? Kalau kamu tidak mau, ibu tidak segan-segan akan membuat grafik nilai kamu turun drastis," ancam Bu Jeni. Mata Rindu terbelalak.

"Harus saya, Bu?" tanya Rindu.

"Tentu, dan bagaimanapun juga kamu juga harus membujuk Gama untuk mau menjadi pemeran utama lelaki."

Rindu menghela napas pasrah lalu mengangguk. "Iya, Bu."

Bu Jeni lalu pergi meninggalkan kelas. Reina tampak mengacak-acak rambutnya sendiri. "Lo kenapa sih, Rein? Masuk-masuk sawan."

"Iya gimana gue nggak stress? Masalahnya gue disuruh bujuk Kak Gama. Kak Gama, Rin!"

Rindu menarik nafas gusar. "Yaudah lah Rein, lo tinggal bilang aja ke orangnya. Kak Gama, Kakak disuruh Bu Jeni buat jadi pemeran utama pertunjukan theater. Lagi juga, siapa sih anak theater yang nggak bakal mau jadi pemeran utama?"

Tentang Rindu [Sudah Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang