2. Filosofi

322K 17.4K 1.6K
                                    

Sepulang sekolah tadi, Nino mengajak Rindu untuk pergi ke Garden Café malam ini. Namun katanya, Rindu duluan saja kesana. Akhirnya Rindu pergi terlebih dahulu, lagi juga tak biasanya Nino mengajak Rindu untuk kembali ke Garden Café. Setelah ia mempunyai pacar, biasanya Nino sama sekali tidak memiliki waktu lagi untuk Rindu.

Rindu memarkirkan motornya di tempat parkir Garden Café yang tak terlalu besar. Matanya mengamati kondisi saat ini, tak biasanya seramai ini. Apakah ini adalah jam-jam strategis? Sekarang masih jam 7 malam, namun sepertinya seluruh meja sudah terisi penuh.

Mata Rindu membulat ke salah satu meja yang belum terisi, dan keberuntungannya adalah tempat itu adalah spot kesukaannya. Itu tempat kesukaannya setiap kali ia kesini.

Rindu tersenyum senang lalu menghampiri meja itu. "Rejeki anak sholehah, nggak dapet kulkas tadi pagi—meja pun jadi."

Senyumnya memudar ketika seseorang terlebih dahulu duduk di tempat kesukaannya. Rindu mendengus kesal lalu menyipitkan matanya, memperjelas siapa yang ada didepannya.

Rindu mengusap kedua matanya, seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Hah?"

Lelaki itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah Rindu. "Hoh."

"Lo lagi?" Rindu menghela napas kesal.

"Iya, lo!" Rindu menepuk pundak Lelaki itu dengan kencang lagi.

Lelaki itu meringis. "Apaan sih?"

"Lo—cowok berang-berang, ‛kan? Ngapain lo duduk disini? Gue udah liat tempat ini duluan," tanya Rindu tak terima.

Lelaki itu tertawa. "Cewek berang-berang, udah jelas-jelas gue duluan yang duduk disini."

"Iya, tapi gue yang liat duluan. Harusnya ladies first, dong!" Rindu tak mau kalah.

Lelaki itu menatap Rindu lekat. "Mana ada orang nge-book tempat cuma diliatin doang? Gue duluan yang duduk disini, jadi ini meja gue. Berang-berang juga tau kali."

"Jangan samain gue sama berang-berang!" Rindu tak terima. Ia menatap Lelaki itu malas.

Waitress café tersebut datang menghampiri mereka. "Maaf, Kak. Mau pesan apa?"

Rindu menoleh. "Mbak, saya nggak mau pesen kalo dia masih duduk disitu. Masa dia sembarangan duduk padahal saya yang liat duluan?"

Lelaki berang-berang itu menghela napas lalu menoleh kearah waitress tersebut. "Mbak, setau saya nggak ada orang nge-book cuma diliatin doang."

Waitress itu tampak kewalahan, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba mencari solusi agar keributan tidak terus menerus terjadi. "Gini deh, kalian saling kenal ‛kan? Kenapa nggak duduk berdua aja?"

Benar juga, sudah tidak ada tempat kosong disini. Lalu bagaimana dengan Nino jika ia sudah datang? Masa iya, mereka akan berbincang dengan adanya kehadiran lelaki berang-berang itu?

Rindu menghela napas pasrah, ia duduk didepan lelaki berang-berang itu.

"Dasar cowok berang-berang."

"Dasar cewek berang-berang." Mereka mengucapkannya secara bersamaan sehingga membuat pelayan itu semakin kebingungan.

"Jadi, sekarang mau pesen apa?"

"Teh tarik sama vanila latte satu, Mbak," pesan Rindu. Teh tarik adalah menu kesukaannya jika kesini dan vanila latte adalah minuman kesukaan Nino.

"Matchalatte-nya satu." Lelaki berang-berang itu hendak memesan juga. Pelayan itu menghela napas lega lalu pergi meninggalkan mereka.

Rindu mengambil ponselnya yang bergetar, ada notifikasi Line yang masuk dari Nino.

Tentang Rindu [Sudah Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang