Laki-laki beriris legam itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kayu. Meski kursi itu tampak tua termakan usia, laki-laki itu tetap saja menjadikannya sebagai tempat duduk kesukaannya.
Menghela napas pelan, laki-laki itu perlahan memejamkan mata. Sesak memenuhi dada, memberi ruang menyesakkan pada rongga-rongganya. Pikirannya melanglang buana entah ke mana. Dalam pejaman mata, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Dalam pejaman matanya, ada banyak beban yang memberatkan kepalanya. Dan dalam pejaman mata, bayangan akan seseorang berkali-kali kembali muncul di benaknya.
Dia merindukan perempuan itu.
Menghela napas lagi. Perlahan, laki-laki itu membuka matanya dan menengadah. Ruangan itu masih dipenuhi sesak dalam balutan keheningan. Ruangan itu ... selalu menunggu kepulangan seseorang. Sama seperti dirinya, ia juga menunggu orang itu pulang. Pulang ke Saturnus. Karena, laki-laki itu percaya,
"Sejauh apapun lo, gue yakin kita akan selalu kembali pada satu titik temu, Saturnus."
Setelah berbisik pada langit-langit ruangan, laki-laki itu tersenyum getir. Kemudian, dengan sisa-sisa tenaga ia kumpulkan kembali perasaan-perasaan yang sempat menyeruak tumpah ke lantai. Laki-laki itu bangkit dari duduknya. Tangannya terjulur mengusap bingkai foto berwarna biru di atas meja sampingnya. Bingkai biru yang di dalamnya terdapat potret empat orang sedang tertawa lepas. Senyum miris tercetak di wajah lelahnya. Ia lelah. Namun, tak mau berhenti barang sedetikpun.
Laki-laki itu menghela napas kasar. Lantas menyeret langkah keluar dari tempat tersebut, melangkah pergi meninggalkan serpihan-serpihan kecil kenangan yang tak sempat terbawa bersama langkah sepinya.
_____
A/n:Haiiiiii! Entah kenapa aku berhasrat ngepublish cerita ini. Cerita ini udah lumayan lama kesimpen di work. So, say hi sama saturnus dan satelit-satelitnya.
Dengan cinta, nebulass.
Bumi, 12 Februari 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.