37. Iris Cokelat Lainnya

12 1 0
                                    

Dione duduk di kursi halaman belakang rumahnya. Di hadapannya sudah ada perempuan cantik dengan iris cokelat. Perempuan itu tertawa kecil, sedikit merasa geli dengan Dione yang sedari kemarin menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Papa memalsukan kematian, gue nggak mati suri beneran, tauk!"

Dione mengedipkan matanya dua kali, berusaha mengambil kembali kesadarannya. "Sejujurnya gue masih shock," gumam Dione.

Mimas menghela napas pelan. "Gue tau, Papa pasti udah ceritain hal ini ke kalian. Lo mau gue ceritain ulang, nggak?"

Dione mengangguk pelan. "Gue mau denger langsung dari mulut lo."

Mimas mengangguk kecil. Perempuan itu meletakkan tangannya di atas meja. Sedangkan Dione di tempatnya memerhatikan dengan serius.

"Lo ingat, kan, waktu umur gue lima tahun, papa adobsi gue dari panti?" Mimas memulai intro dengan baik, seolah membangkitkan kembali memori Dione tentang masa kecil mereka.

Mimas menatap cangkir teh di genggamannya dengan sorot menerawang jauh, seolah cangkir itu adalah objek tak berujung.

"Gue pernah bilang sama lo, kalo gue bersyukur banget ketemu papa. Ya, papa selalu nyelamatin gue." Mimas mengangkat pandangannya, menemukan iris gelap itu. "Ada beberapa hal yang gue rahasiain dari lo, Titan, dan Phoebe. Rahasia yang cuma papa dan gue yang tau. Walaupun sekarang, udah jadi rahasia umum juga, sih." Perempuan itu kembali tertawa di ujung katanya.

"Seperti yang udah papa ceritain ke kalian, sebelum ke panti gue tinggal dengan ayah dan ibu kandung gue. Dari dulu hidup gue sama ibu nggak pernah nemu ketenangan. Ayah yang kasar, dan nggak bertanggung jawab itu beban banget buat hidup gue sama ibu. Sampai di malem itu, gue liat dengan mata gue sendiri kalau ayah bunuh ibu. Nggak selesai dengan ibu, dia juga mau bunuh gue. Gue nggak ada pilihan lain selain kabur, tapi di sisi lain, gue pernah benci diri gue sendiri karena ninggalin ibu gue waktu itu."

Mimas menjeda kalimatnya. Sudah bertahun-tahun, tapi anehnya hal ini masih saja menjadikannya sulit bernapas.

"Gue kabur dari rumah dan lari ke panti persimpangan jalan. Di sana gue ketemu papa sama mama yang ternyata donatur di sana. Seinget gue, waktu itu kayak lagi ada acara ulang tahun gitu. Gue inget, gimana mama sama papa nemuin gue di gerbang panti. Hal yang paling berbekas di ingatan gue adalah, waktu papa bilang kalo gue nggak perlu takut karena ada dia.

Gue menceritakan semua hal yang gue alamin, sampe mama nangis waktu itu denger cerita gue. Gue inget waktu itu papa langsung telpon polisi buat datang ke alamat rumah gue. Sebulan dari kejadian itu, papa langsung adobsi gue. Gue sempet tinggal di panti sebelumnya."

Tangan Dione bergerak, mengenggam tangan Mimas dengan hangat. Dione tau, menceritakan hal ini sama saja membuka luka lama bagi Mimas.

"Tapi, kenapa tiga tahun yang lalu papa memalsukan kematian lo? Gue bahkan nggak tau sama sekali. Kami nggak pernah lihat jasat lo, dan yang paling gilanya lagi, makam itu bener-bener nyata dan ada nama lo di situ." Seharusnya kenyataan sudah jelas. Aksa juga sudah menceritakan semuanya kepada Dione, hanya saja Dione ingin mendengarnya langsung dari Mimas.

"Gue diteror. Ayah kandung gue berhasil nemuin gue, entah gimana caranya dia keluar dari penjara. Waktu itu gue berhasil lari dan langsung ngehubungin kalian. Inget 'kan, waktu itu kita kecelakaan pake mobil yang disupirin Titan?"

Cerita dari Mimas membuat Dione seolah kembali ke masa itu. Kecelakaan itu terjadi karena Titan yang bahkan tidak memiliki izin mengemudi, berusaha membawa mobil melaju cepat sesuai dengan kemauan Mimas. Hal itu jugalah yang membuat Dione menjadi trauma dan lebih suka berjalan kaki.

"Kita luka parah banget waktu itu, tapi kita berhasil sembuh. Gue orang pertama yang sadar waktu itu, sementara kalian masih nggak sadarin diri. Gue langsung ceritain semuanya ke papa, dan papa sedih banget waktu itu. Papa langsung lapor polisi lagi, dan ayah gue berhasil kembali ke jeruji. Lo tau, kan, papa itu orangnya khawatiran banget? Jadi papa buat kecelakaan itu seolah-olah penyebab dari kematian palsu gue, supaya ayah kandung gue nggak nganggu gue lagi ke depannya. Gue tau keputusan itu berat banget, tapi gue setuju waktu itu. Gue nggak tau  ternyata hal itu membuat kalian saling benci satu-sama lain."

Dione menghela napasnya. "Jadi, selama ini lo tinggal di tempat Oma?"

Mimas menyunggingkan senyum tipisnya. "Ya, Papa pasti udah cerita 'kan, kalo gue selama ini tinggal di London, sama Oma."

Dione terdiam sejenak. Ternyata mereka terlalu sibuk dengan luka masing-masing, mereka bahkan tidak pernah memikirkan hal sejauh itu.

"Kenapa lo nggak pernah ngehubungin gue selama di sana?" Dione bertanya parau.

"Maaf untuk yang itu, dan maaf... waktu mama nggak ada, gue nggak di samping kalian. Gue nyesel banget untuk hal itu." Mimas menatap Dione dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf," lirihnya lagi.

Dione mengelus punggung tangan Mimas dengan ibu jarinya. Laki-laki itu menelan salivanya dengan susah payah. "Gue lebih minta maaf untuk itu. Maaf gue nggak ada di samping lo waktu lo bingung mau berbuat apa ketika lo denger kabar tentang mama."

Mimas menyeka sudut matanya yang berair. Matanya menatap Dione dengan penuh rasa sayang. "Yon?" panggil Mimas pelan.

"Iya, Mimas?"

"Temuin dia, Yon. Jangan sampai lo nyesel untuk kesekian kalinya karena nggak ada di samping orang yang lo sayang. Gue tau, dia pasti juga lagi bingung sekarang. Dia berhak tau cerita ini."

"Mimas... lo... tau tentang dia?" terbata Dione menanyakan hal itu.

Mimas mengangguk. "Semalem Phoebe dan Titan ceritain tentang Rhea ke gue. Titan juga dapet kabar dari Bandung kalo nyokap dia berpulang kemarin."

Dione mengerutkan keningnya. Rautnya memancarkan rasa cemas. "Mamanya? Kok Titan nggak ngasih tau gue?"

"Rhea bilang, Titan nggak perlu ke sana. Rhea juga bilang kalo dia nggak mau buat lo khawatir atau sampe nyusul dia ke Bandung."

Dione berdecak kesal. "Bakal lebih khawatir kalo jadinya gini. Pantes aja dari semalem gue telepon nggak pernah dijawab"

Dione melepaskan genggaman tangannya pada Mimas dengan pelan. "Mimas, kayaknya gue harus ke sana sekarang. Nanti gue suruh Titan kirim alamatnya ke gue."

Mimas mengangguk. Perempuan itu tersenyum getir. Menurutnya, Dione sudah banyak berubah. Entah itu cara berpikir atau tentang perasaan. Waktu memang pintar mendewasakan beberapa orang lewat luka.

___
A/n:
Halo apa kabar?

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang