27. Sunflower

169 17 2
                                    

"Sini, Yon, kita makan bareng." Aksa tersenyum kecil, tangannya mengisyaratkan agar Dione mempercepat langkah dan duduk di kursi, di meja makan.

Dione tak memunculkan ekspresi apa-apa, namun jauh di dalam sana, ia sedikit terkejut. Seingatnya, Aksa tak pernah mengatakan apa-apa selain membentaknya dan memaksanya mengikuti belasan kursus. Rasanya sia-sia, sebab dari belasan kursus yang Aksa bayar tiap bulan, tak ada satupun kelas yang rutin  Dione hadiri. Kalaupun hadir, laki-laki itu paling hanya bertahan di kelas selama sepuluh menit, itupun karena ia ketiduran.

Dione menarik kursi, lantas duduk di sana. Matanya menyorot datar pada Aksa, namun hanya beberapa detik, karena detik selanjutnya ia lebih memilih memindahkan makanan ke piringnya. Dione memasang ancang-ancang, kalau-kalau Aksa bertanya hal-hal yang itu-itu saja setiap harinya. Karena jika itu berulang lagi, maka ia juga akan mengulang hal yang sama: pergi ke kamarnya meninggalkan Aksa tanpa menyentuh makanannya sesendok pun.

Dione mengernyit. Lima menit berlalu, namun Aksa masih diam dan sibuk melahap makanannya. Sesekali ayahnya itu menatap Dione lantas tersenyum kecil, lalu kembali melahap makanannya.

Ada yang aneh. Dione bahkan bingung harus senang, sedih, atau marah sekalipun. Apa mungkin sesuatu telah terjadi pada ayahnya? Atau ini tanda-tanda kalau ayahnya telah lelah mengurus Dione? Atau mungkin, ini salah satu bentuk depresi yang di alami seseorang yang gila bekerja? Di kepalanya sudah banyak sekali tanda tanya.

Bi Mina mendekat ke arah Dione, tersenyum lebar. Di tangan wanita tua itu sebuah teko berisi air di bawanya. Bi Mina menuangkan air ke dalam gelas di samping piring Dione. Dione menoleh ke sampingnya dan menemukan Bi Mina sedang tersenyum lebar. 

"Makan yang banyak Mas Dione, biar sehat-sehat terus," katanya pelan dan Dione hanya membalasnya dengan senyum tipis.

Bi Mina kemudian berlalu dari hadapannya, kembali ke kamarnya. Dione sekali lagi melirik ke arah ayahnya, Aksa memakan makanannya dengan lahap. Kemudian, Dione mengangkat sendok dan garpu, mulai memakan makanannya. Keduanya makan tanpa obrolan. Tanpa perdebatan. Dan hari ini, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun yang lalu, Dione akhirnya menghabiskan makan malamnya, bersama Aksa.

Dione memundurkan kursinya, mengangkat piring yang sudah ludes makanannya, lantas bergerak merendamnya di air cuci piring di wastafel. Di kursinya, Aksa hanya diam dengan mata yang terus memperhatikan segala gerakan Dione.

Dione sudah selesai mencuci piring, kemudian ia memutar tumit hendak kembali ke kamarnya. Namun, suara Aksa tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Dione?" Aksa berdiri dari duduknya, menatap punggung anaknya.

"Ya?" Dengan gerakan pelan, Dione berbalik menghadap ke arah ayahnya.

Aksa tersenyum getir. "Besok Mama ulang tahun," Aksa berujar pelan, namun kalimat itu berhasil membuat hati Dione terasa diobrak-abrik.

Dalam diam, Dione tertegun. Bibirnya ia kunci rapat-rapat, kakinya seakan tertancap secara permanen di lantai marmer yang dingin. Dia ingat, dan akan selalu begitu. Ya, Dione tak mungkin lupa besok adalah hari ulang tahun ibunya yang ke-44

Dione seakan dilempar secara brutal oleh waktu. Di benaknya, momen saat ibunya ulang tahun terulang kembali. Waktu itu umur ibunya genap tigapuluh tujuh tahun, umur Dione sepuluh tahun waktu itu. Seakan film yang diputar ulang, kenangan itu kembali ia saksikan. Ibunya yang tersenyum senang, tertawa, bahkan menangis bahagia di dalam pelukan ayahnya. Dione berlari dan ikut memeluk sang ibu, di genggamannya sudah ada sekotak kado. Kado itu sangat istimewa bagi ibunya, padahal hanya gantungan kunci berbandul miniatur planet Saturnus. Menurut ibunya, hadiah dari Dione selalu istimewa karena Dione membelinya dengan tabungannya sendiri.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang