"Gue ga pa-pa, Yon." Sebuah suara kian menyaring di dalam kepalanya. Wajah perempuan yang tak akan pernah ia lupa, terus tersenyum tipis di sana. Perempuan itu mengenggam tangan Dione, senyumnya semakin mengembang. Tapi, ada apa dengan senyum itu? Kesedihan jelas tergambar di sana. Dan Dione bukan anak berumur lima tahun, yang bisa dengan mudah ditipu.
Dione menggeleng pelan, matanya terpancar kemarahan dan kegetiran. Dengan susah payah ia telan salivanya, kemudian laki-laki itu berteriak, "JANGAN PERGI!"
Namun, semua sudah lenyap. Lenyap digerus arus waktu.
***
Rhea melangkah menyusuri koridor sekolah. Matanya berpendar mencari sosok laki-laki jangkung dengan iris segelap jelaga yang menenangkan. Dione.
Di ujung sana, di depan ruang UKS, mata gadis itu menangkap sepatu abu-abu yang selalu ia kenal, itu milik Dione. Rhea sempat bingung, untuk apa Dione ke UKS waktu jam istirahat begini? Mungkinkah Dione sakit?
Dengan langkah yang kian melaju, gadis itu memasuki ruang yang ia tuju. Rhea melepas sepatunya di samping sepatu milik Dione. Dengan langkah yang entah kenapa menjadi ragu, Rhea masuk dan mencari keberadaan Dione.
Rhea tersenyum kecil saat matanya menatap objek yang ia cari. Langkahnya kian mendekat ke arah Dione yang tengah terbaring di bangkar.
Rhea meneliti tiap inci wajah itu. Bulir-bulir keringat jatuh dari kening dan pelipis laki-laki itu. Dilihatnya, jari-jari tangan Dione mencekram seprai yang menutupi kasur. Gadis itu ragu-ragu mengulurkan tangannya. Pergerakan itu terhenti, mengambang di udara.
"Jangan, jangan pergi." Matanya memejam, namun bibirnya berkata lirih.
Rhea tertegun. Tangannya ia turunkan seperti posisi semula. Matanya terus menatap ke arah Dione, yang masih memejamkan mata.
"JANGAN PERGI!" Teriakan itu keluar dari bibir Dione sejurus laki-laki itu sontak terduduk di atas bangkar. Teriakan itu pula yang membuat Rhea tersentak kaget. Rhea meneguk salivanya dengan susah payah sangkin terkejutnya.
Telapak tangan gadis itu menyentuh pundak Dione, yang masih tersengal napasnya. Dione menatap Rhea dengan tatapan yang tak bisa Rhea tebak apa artinya.
"Dione, Are you okay?" tanya Rhea dengan raut cemasnya.
Dione menunduk, masih mengatur napasnya. Rhea menarik kursi kayu di samping bangkar, lantas duduk di sana. Rhea mengeluarkan tisu kecil dari dalam saku seragamnya, kemudian dengan gerakan perlahan, gadis itu mengelap keringat yang kini memenuhi wajah Dione.
Dione memalingkan wajahnya dari pandangan Rhea, membuat pergerakan tangan Rhea terhenti, lantas kembali ia turunkan. Rhea tersenyum kecil.
"Udah minum obat?" tanya Rhea, ia menarik kesimpulannya sendiri bahwa Dione sedang tak enak badan.
Dione kembali menatap Rhea dengan raut tak berekspresi. "Gue ga sakit!" Dione berujar pelan, namun tajam.
Rhea tersenyum kecil. Ia tak bodoh, dan ia menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada Dione. Dan Rhea semakin yakin, bahwa teriakan Dione sebelumnya menyiratkan banyak hal. Banyak hal, dan yang paling kentara ialah kesedihan dan amarah. Ada apa sebenarnya? Rhea tak tau jelasnya bagaimana, namun ia tau, Dione perlu didengarkan.
"Ada yang mau diceritain?" Rhea tersenyum di ujung tanyanya. Menatap Dione yang juga menatapnya. "Kalo lo ga kebe---"
"Gue ga apa-apa!" sentakan dari Dione memotong kalimat Rhea sebelumnya, membuat dahi Rhea membentuk garis-garis bergelombang.
Rhea menatap Dione kian lekat. Gadis itu tersenyum kembali. "Gue emang ga tau apa yang terjadi sama masa lalu lo. Tapi, gue tau satu hal, lo ga lagi baik-baik aja sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.