Empat hari berlalu setelah malam itu. Malam di mana Dione dan Rhea duduk diam di satu garis orbit yang sama. Matanya bersibobrok, hatinya saling sapa, dan tembok pelindung di masing-masing sudut hati mereka mulai hancur.
Empat hari yang lalu, saat kalimat-kalimat dari Rhea membuat Dione berhasil memecahkan dinding beku dan dingin yang sengaja ia bangun untuk membekukan hatinya. Dan malam itu, Sirius menjadi saksi bahwa ada dua satelit Saturnus yang terjebak di Bumi manusia. Dua satelit yang sama-sama kesepian.
Dan detik ini, dua bulan Saturnus itu sedang duduk di ruangan yang sama, menceritakan banyak hal tentang dunia. Atau mungkin hanya Rhea yang sibuk mengeluarkan kata-kata, sedangkan Dione lebih banyak bungkam dan menanggapi seadanya.
"Jadi," Rhea menghela napas sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara, "elo beneran mau jadi bintang mati?"
Dione yang duduk di kursi pun sontak menoleh ke arah Rhea yang duduk di atas meja, seperti biasa. Dione tak bersuara, namun matanya menyiratkan segala aksara yang tak tersampaikan oleh bibirnya.
Tanpa diduga, tangan gadis itu terjulur mengusap lembut pucuk kepala Dione. Dione sempat terkejut meski hanya sepersekian detik selanjutnya menepis kasar tangan Rhea dari kepalanya. Gadis itu memang selalu tiba-tiba. Perlakuannya selalu tak terduga. Dan Dione benci jika harus menebak apa yang akan Rhea lakukan selanjutnya.
Rhea menurunkan tangannya seraya tertawa pelan. "Kalo sekarang, gimana?"
"Bintang mati?"
Rhea berdesis sebal, "Ishh! Bukan."
Pertanyaan Rhea sudah pasti membuat Dione bingung. Dione itu sudah dingin, gak peka pula. Kalau kepanjangan Telmi saja dia tak tau, apalagi dengan pertanyaan satu kalimat yang tiba-tiba terjun dari bibir Rhea?
"Terus?"
Rhea tersenyum tipis, membuat Dione semakin bingung dengan setiap perubahan raut wajah gadis itu.
"Kenapa sih?" tanya Dione tak mengerti dengan situasi ini.
Rhea berdecak sebal. Cowok di hadapannya ini makhluk jenis apa, sih, sebenarnya? Entah Dione yang tak memiliki kepekaan sedikitpun, atau Rhea yang terlalu lihai memainkan kode, sehingga Dione tak mengerti sama sekali maksud dari pertanyaannya.
"Gue udah bisa jadi temen lo, belum?!" Tanya Rhea dengan nada kesalnya.
"Oh, itu," Dione akhirnya paham ke mana arah obrolan ini.
"Jadi, gimana?"
Dione tercenung beberapa detik di tempatnya. Dia kembali diam. Sebenarnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika ia mengizinkan Rhea menjadi temannya, itu sama saja ia termakan omonganny sendiri. Karena ia pernah bilang kalau ia tak berteman dengan manusia.
"Bukannya gue udah bilang kalau gue gak--"
"Nggak berteman sama manusia? Itu 'kan yang mau lo bilang?" tukas Rhea tepat sasaran.
Rhea tertawa sinis, mengingat kata-kata Dione yang sudah ia hapal di luar kepala. "Gila, ya, sampe hapal gue."
"Lo tau itu, Rhea. Jadi, untuk apa lo tanya lagi?"
"Lo juga manusia, Yon. Lo tau itu, tapi lo menipu diri lo sendiri."
Helaan napas berat terdengar dari tempat Dione duduk. Laki-laki itu menegapkan duduknya. Matanya terang-terangan menembus iris cokelat milik Rhea. "Apa yang buat lo sampe segitunya mau jadi temen gue?"
Tanpa jeda dan tanpa waktu lama, Rhea kembali bersuara dengan yakin. "Karena lo Dione dan gue Rhea. Kita dua bulan yang sama-sama terjebak di pulau penghakiman bernama Bumi."
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.