15. Kang Seblak

248 27 21
                                    

Giliran ada, diusir. Giliran ilang, dicari-cari. Dasar Titan!
______

Titan membuang napas kasar, lantas menggerutu setelahnya. "Gila! Selain macet dan panas, Jakarta juga perampok!" Titan mengintip uang di dalam dompetnya, tinggal dua lembar uang sepuluh ribuan. Miris memang, terlebih saat ini ia tak punya kerjaan. Poor Titan!

"Apa gue jual ginjal aja, ya?" Pikiran gila itu terjun bebas dari bibirnya, seenak jidat dan tanpa difilter terlebih dahulu. Memang benar, tak ada yang tau jalan pikiran pemuda itu.

"Ck!" Titan berdecak sebal. "Semoga aja Raka berbaik hati hari ini. Tapi, dia sok sibuk, sih! Terlalu nurut. Kayak hamba sahaya lagi ngabdi sama Kanjeng ratu aja." Titan menggerutu lagi, padahal ia sendirian di apartemen Raka.

Kemudian, pemuda itu memainkan ponselnya. Diketuknya aplikasi WhatsApp miliknya. Di sana, sudah banyak sekali pesan masuk, namun tak satupun ia balas. Jangankan membalas, membacanya saja ia malas. Yang ia lakukan, hanya mengscroll layar tersebut.

Ribuan pesan masuk dari grup kelasnya. Ia sama sekali tak peduli, ingin sekali rasanya keluar dari grup yang sengaja disenyapkannya satu tahun itu. Padahal, banyak teman kuliahnya yang mananyakan pemuda itu, mengapa tak pernah masuk kelas. Padahal, pemuda itu termasuk mahasiswa yang paling aktif menyalurkan aspirasi dan argumennya, di fakultasnya.

"Giliran ngilang, dicariin. Giliran ada, diusir-usir. Dasar aku," tutur Titan. Dan sepertinya, laki-laki itu memang senang berbicara sendiri.

Drrtt... drrttt...

Terdapat satu pesan masuk dari Raka, dan Titan tentu saja membacanya.

Udah gue tf. Cari kerja, gih. Gue takut lo gabut, terus ngoceh sama dinding di apartemen.

Titan tertawa renyah membaca pesan itu. Raka memang paling mengerti kondisi jiwa dan dompetnya.

Kemudian, dengan senyum yang masih lebar, Titan mencari kontak seseorang, lantas menghubunginya. Dan beberapa detik setelahnya, panggilan itu tersambung.

"Rhea Sheilendra!" sapa Titan sedetik setelah telepon tersambung.

"Hm." Gadis di seberang telepon berdehem, terdengar sangat malas meladeni Titan.

"Re, ngedate, yok?" tanya Titan, sedang gadis di seberang sana sontak menyentaknya. "Gak! nggak mau gue!"

"Kalo pacaran sama gue, mau? Eh, ralat. Kalo gue jadi cowok lo, boleh?" goda Titan, terdengar sangat jayus.

"Lo emang udah gila, Tan!" sahut Rhea.

Titan menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga, pemuda itu menggosok-gosok telinganya sebentar, lalu kembali menempelkan ponsel itu ke daun telinganya. "Pulang sekolah gue jemput. Gue tau, kok, di mana lo sekolah. Gue nggak nerima alasan, apalagi penolakan."

"Gue sibuk!" Dan sambungan terputus, hanya menyisakan bunyi tut-tut-tut.

***

Rhea mencengkram kuat-kuat tali ranselnya. Gadis itu berjalan sangat lambat, sehingga Dione ikut menyamai langkahnya. Dione menatap Rhea tanpa menghentikan langkah, menilik tiap ekspresi kesal bercampur gugup itu.

Dione kembali menatap lurus ke depan, tersenyum samar setelahnya. Rhea cukup menggemaskan untuk masuk ke dalam tipe gadis kasar.

"Kenapa?" Dione ikut menghentikan langkah sejurus dengan pertanyaan itu keluar dari mulutnya, saat Rhea menghentikan langkah terlebih dahulu.

Bukannya menjawab, Rhea malah diam saja. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa gelisah. Dan Dione semakin bingung.

"Sakit?" Nada cemas terdengar jelas dalam pertanyaan itu, sedangkan yang ditanya hanya menggelengkan kepala. Lalu, laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang