20. a Call

254 24 0
                                    

Kita lagi main apa, sih? Petak umpet? Kalo iya, mau sampe kapan lo bersembunyi?
___

Tiga hari berlalu sejak Rhea pulang dari rumah Dione dengan tangis yang mati-matian ia tahan. Sebenarnya, Rhea tak mengerti titik permasalahan yang mengakibatkan dirinya dan Dione tak kunjung saling berbicara sampai saat ini. Bahkan sewaktu berpapasan di koridor sekolah dan perpustakaan pun mereka hanya saling melemparkan tatapan dingin dan berlomba saling melewati satu sama lain.

Rhea tak menyangka akan mengeluarkan semua kata-kata yang mungkin saja dapat membuat Dione merasa kesal dan akhirnya sangat marah. Waktu itu, yang Rhea tau hanyalah ia sangat kesal dengan Dione. Namun siapa sangka, perkataan Rhea memang tajam dan terkesan kasar.

Rhea menggeleng kuat-kuat, tak peduli dengan rekan-rekan kerjanya yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya. Rhea memang terlihat uring-uringan akhir-akhir ini.

"Engak! Enak aja. Gue nggak salah kok," Rhea bergumam seraya kembali menggeleng kuat. "Lagian kalo dia punya hati, dia yang harusnya minta maaf duluan."

"Aw!" Rhea sontak memekik tertahan. Kepalanya ia usap-usap menggunakan telapak tangan. Gadis itu meringis. Kerikil kecil mendarat mulus di dahinya. Lalu, saat ia mengangkat pandangannya, tiba-tiba matanya menyipit tajam. Sorot itu melayangkan tanda permusuhan.

Rhea berdecak sangat kesal. Seribu kali kesal. "Apaan, sih? nggak lucu, tau?!"

Titan seketika melemparkan cengirannya ke arah Rhea. Tindakan refleks yang ia gunakan saat lawan bicaranya sudah sangat kesal. Kebiasaan. Ya. Siapa lagi yang bisa membuat Rhea kesal setengah mati jika bukan Titan ... dan Dione tentunya.

"Dari jauh gue pantau. Lo udah kayak orang sarap tau, nggak?" Pertanyaan retoris itu sebenarnya ejekan. Tuh kan, Titan memang bakat membuat mood Rhea hancur. Tapi dengan orang yang sama, Rhea juga bisa merasa hangat jika bersama Titan, walau dalam tanda kutip jika dalam pembicaraan yang serius.

"Elo tu yang sarap. Hampir setiap hari ke sini mulu," gumam Rhea, yang tak ingin Tio mendengarnya. Karena jika Tio mendengar, sudah pasti Rhea akan kena tegur, atau lebih parah dari itu.

Titan menyilangkan tangan di depan dada. Lekuk bibirnya terangkat, tersenyum jumawa. Dan sumpah demi apapun, gestur pemuda itu membuat Rhea berhasrat untuk menjitak kepalanya keras-keras.

"Liat dulu, dong," kata Titan ambigu. Dan Rhea tak bisa mengerti secepat kecepatan cahaya. "Ogah! Bosen gue liat elo!" Rhea mendengus kesal di ujung katanya.

Titan berdecak pelan. Pemuda itu berkacak pinggang. "Liat dulu dong penampilan gue!" suruh Titan yang lebih terdengar sebagai paksaan.

Rhea memyipitkan matanya. Sorot matanya menjelajahi sosok Titan dari ujung kaki sampai ke kepala. Dan itu hal berulang sampai tiga kali. Setelah sadar apa yang dimaksud Titan, gadis itu tertawa sumbang. Jenis tawa yang selalu ia gunakan untuk menolak kebenaran yang jelas ia lihat.

Titan ikut tertawa. Dan seketika keduanya jadi pusat sorot mata manusia-manusia di restoran, kecuali pemuda berkaca mata yang fokus membaca buku sastranya di meja paling ujung.

"Jangan becanda, Tan. Jayus. Asli!" tukas gadis itu seraya memelankan tawanya.

"Becanda apanya? Lo liat sendiri 'kan seragam kita couple'an? Gue baru lulus wawancara kemarin. Dan hari ini hari pertama gue." Titan menyelipkan senyum simpul di ujung katanya.

"Ikut gue bentar, deh." Titan menarik pelan tangan Rhea, membawa mereka ke pelataran belakang restoran. Titan tersenyum lagi, jarang-jarang kan Rhea langsung mau diajak. Biasanya juga Titan di tolak mentah-mentah.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang