Mari belajar membenci, pelan-pelan.
Atau belajar tak peduli, diam-diam.
(Elegi - belajar membenci)
***
Sama seperti hari liburnya yang lalu, Dione pagi-pagi buta sudah keluar rumah tanpa sepengetahuan ayahnya. Setiap sabtu-minggu, memang sudah menjadi rutinitasnya: kabur dari rumah untuk mengunjungi suatu tempat.
Dengan tas berwarna abu-abu tua yang selama satu tahun belakangan ini selalu menempel di punggungnya saat ia pergi keluar rumah, Dione berjalan menyusuri jalan yang sepi. Gimana nggak sepi? Orang ini masih jam tiga subuh. Aneh memang, saat banyak orang memilih bermalas-malasan di tempat tidur saat hari libur, Dione malah keluar rumah pagi-pagi buta, jalan kaki pula. Tapi baginya, lebih baik menapaki kaki di jalanan yang sepi dan dingin seperti ini daripada harus mendengarkan ceramah ayahnya yang selalu tentang bimbel dan kursus. Ah, ayahnya itu terlalu ambisius.
Menghirup napas dalam-dalam, udara jam tiga subuh memang selalu menenangkan, tak ada polusi udara, tak ada suara klakson, tak ada makian para pengendara karena macet. Bagi Dione, definisi kehidupan yang sesungguhnya ya seperti saat ini.
Ketika dikeluarkannya pun napasnya, ia merasa tenang dan damai. Kalau boleh memilih, ia ingin waktu berhenti berputar saat ini juga. Tapi, apalah dayanya, ia tak punya kuasa atas waktu. Atau memang waktu tak pernah berpihak kepadanya? Ah, membahas tentang waktu memang serumit itu.
Setelah jauh melangkah, kakinya berhenti di sebuah rumah kecil bercat abu-abu, warna kesukaannya. Baginya warna abu-abu sangat menggambarkan dirinya. Abu-abu itu abstrak, warnanya tidak tegas. Tidak hitam, tidak pula putih. Sama seperti dirinya yang tak bisa menentukan pilihannya sendiri.
Kemudian, tangan laki-laki itu merogoh saku celananya, mengambil kunci dari dalam sana. Setelah pintu dibukanya, ia langsung masuk ke dalam rumah seraya menarik sudut-sudut bibirnya.
Selamat datang kedamaian!
Dione meletakan tasnya ke atas meja samping kursi. Menyandarkan punggungnya yang lelah itu di sandaran kursi kayu tua. Tangannya kembali mengambil tas abu-abunya di atas meja, lantas mengeluarkan ponsel dan speaker kecil dari dalam sana. Jemarinya dengan lihai menari-nari di permukaan layar ponselnya, mencari lagu yang dapat membuat moodnya kembali. Tak lama kemudian, musik mengalun indah menyusuri rongga-rongga telinganya. Lagu dari Elegi yang berjudul belajar membenci menjadi pilihannya saat ini.
Dengan musik yang suaranya sengaja dipenuhi melalui speaker, Dione perlahan memejamkan matanya. Ruangan itu seketika berubah menjadi tempat paling menenangkan di Bumi baginya, mengalahkan keindahan arsitektur bangunan-bangunan di berbagai belahan bumi. Dia suka kesederhanaan, tidak kurang juga tidak lebih. Baginya, lebih baik hidup dalam kesederhanaan daripada hidup mewah tapi tertekan.
Dione memang sengaja membeli rumah kecil ini. Sudah pasti tanpa sepengetahuan ayahnya, juga orang lain. Hanya dia yang tau. Ah, tidak, mungkin ibunya sudah tau tentang rumah kecil yang dibelinya dengan sisa uang jajannya selama setahun penuh dari kelas sepuluh ini. Mungkin ibunya tau. Ibunya itu memang selalu tau. Ibunya selalu hidup, lebih abadi dari manusia yang masih hidup. Ibunya selalu hidup, dalam pikiran dan hatinya.
Rumah itu sangat kecil, dan di dalamnya hanya terdapat sebuah kursi dan meja, serta kipas angin kecil warna abu. Ruangan dalam rumah itu hanya tiga; ruang depan yang dalamnya tak ada perabotan apa-apa kecuali sarang laba-laba di sudut langit-langitnya, ruang tengah yang hanya ada sebuah kursi yang sedang didudukinya, sebuah meja tempat ia meletakkan tasnya juga papan tulis ukuran sedang yang tertempel di sana. Di papan tulis itu terdapat coretan aksara yang sengaja digoreskan oleh tinta spidol sehitam matanya. Disana tertulis sebuah kalimat; Jika bermimpi bukan sebuah masalah, lalu mengapa berambisi itu membuat jiwa mati rasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.