Ada hal baru yang menjadi hal favorit Rhea sekarang yakni, digenggam oleh Dione. Dulu, Rhea paling suka menyebrang, jabat tangan, dan apapun yang membuat ibunya menggenggam tangannya. Dari kecil, Rhea memang suka tangannya digenggam, karena saat tangannya digenggam, dirinya seperti mendapat sumber energi lebih karena hatinya ikut menghangat bersamaan dengan itu.
"Gue suka digenggam kayak gini." Di sela-sela langkahnya bersama Dione, Rhea mengangkat tangannya yang digenggam oleh Dione sedari tadi. Gadis itu tersenyum senang, matanya berbinar mengalahkan sinar purnama di atas sana. "Dan lo orang ke dua yang punya genggaman paling hangat," tambah gadis itu.
"Siapa yang pertama?" Dione bertanya pelan, ada sedikit rasa kesal mendengar pernyataan dari Rhea sebelumnya.
"Mama," jawab Rhea ringan, seringan membalikkan telapak tangan.
Senyum tipis tercetak di wajah Dione sejurus mengeratnya genggaman itu. "Tadi satenya enak?" Dione membelokan pembicaraan, tau kalau gadis itu sedang rindu mamanya.
"Enak, gratis soalnya." Gadis itu menoleh ke arah Dione, memamerkan cengirannya, sedang Dione membalasnya dengan senyum kecil.
Dione kembali beralih ke jalanan beraspal, memutar tumit memasuki gang kecil yang juga mengarah ke rumah abu-abunya. "Lo mau gue anter sampe kosan?"
Rhea melirik sekilas rumah Dione yang sudah terlihat di ujung sana. Gadis itu diam sebentar, berpikir. "Nggak usah deh, deket kos gue ada anjing galak."
Dione tertawa kecil, mengingat cerita Rhea saat pertemuan kedua mereka di rumahnya. Dione ingat sekali Rhea yang sangat ekspresif saat menceritakan kesialannya karena harus dikejar anjing yang ia lempar batu karena dikira sudah mati.
"Kok ketawa?" Rhea mengernyit bingung. "Ada yang lucu, ya?"
"Nggak, gue cuma lagi keinget sesuatu."
Rhea mendengus. "Kebiasaan."
"Gue anter pulang," kata Dione lagi saat langkah mereka baru saja melewati rumah Dione.
"Ada anjing galak--"
"Galakan elo, kan?" Potong Dione secepat mungkin.
Rhea sontak mencubit lengan Dione dengan tangan sebelahnya. "Sembarangan!" Bukannya kesakitan, Dione malah kembali tertawa.
Kemudian lengang. Dione memilih tak menyahuti Rhea, sedang Rhea juga memilih diam saja. Dan jalanan sepi itu ditakdirkan bungkam oleh semesta. Dione memerhatikan langkahnya, lalu fokus ke depan. Di depan sana jalanan nyaris tak terlihat, kalau saja remang lampu jalan tak menyinari jalanan. Dione jadi berpikir, bagaimana Rhea melewati jalan yang sama tiap kali pulang bekerja? Dan lagi, biar segalak apapun, Rhea tetaplah seorang perempuan yang notabene tak baik jika harus pulang malam seorang diri. Dione berpikir lagi, haruskah ia mengantar Rhea pulang setiap hari?
"Yon," Rhea memanggil nama itu, membuat sang empunya nama tersentak kecil karena sebelumnya laki-laki itu melamun. "Apa?"
"Tumben anjingnya nggak ada, biasanya udah tidur di situ," Rhea menunjuk tumpukan kayu-kayu bekas yang disekelilingnya terdapat sampah-sampah plastik.
"Ada gue sih, makanya dia nggak berani." Dione tersenyum jumawa di ujung kalimatnya, sedang Rhea merotasi matanya mendengar kesombongan itu.
Kemudian hening lagi. Rhea memijat pelan bahu kirinya dengan sebelah tangan. Dione yang memperhatikan itu sontak tersenyum kecil, sedih. Dione tau, Rhea pasti sangat lelah hari ini, atau bahkan setiap hari. Sebab Dione tau, berjam-jam di sekolah saja sudah membuatnya pusing dan lelah, apalagi jika harus bekerja sepulang sekolah sampai larut malam seperti gadis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
JugendliteraturKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.