Raka menatap Titan dengan sorot tajam. Titan hanya menyengir bodoh dengan botol minuman di genggamannya. Titan mabuk. Soda.
"Karena gue nggak bisa minum minuman keras, seenggaknya gue punya pelarian." Meski cengiran khas itu tampak biasa saja, getir di suaranya membuat Titan terlihat transparan bagi Raka. Hancur.
Raka mendekat, mengambil alih botol minuman berwarna hijau itu dari Titan. "Ini yang ke sembilan! Lo mau perut lo bersih kinclong apa?" geram Raka. Titan memang keterlaluan sekarang.
Titan tertawa sampai air di sudut matanya menitik. Titan mendengus geli setelahnya. Dan sejujurnya, ini semua tak adil baginya. "Kenapa, sih, Rak?" Titan nyaris berteriak, kalau saja helaan napas Raka tak terdengar selelah itu.
"Gue duluan yang ketemu dia!" Raka diam saja melihat sahabatnya hancur di depan mata.
"Gue selalu kalah, dan sebenernya gue udah capek ngalah."
"Tan...," Raka mengambil posisi di samping tempat duduk Titan. "Udahlah, Tan, cewek lain banyak di luar sana. Kalo stuck di satu orang buat lo kayak gini, mendingan lo lupain aja udah perasaan lo. Kalian nggak bisa bareng-bareng, itu kenyataannya, dan elo nggak bisa lebih hancur lagi."
Titan mendengus geli. "Tapi gue sayang banget sama dia, Rak."
"Gue paham. Lo nggak mungkin pulang ke sini, kalau bukan karena dia." Hela napas menjadi jeda kalimatnya. "Tapi, Tan, sekeras apapun usaha lo bakal percuma kalo dia nggak bisa bales rasa lo."
"Tan, terima kenyataan dan ngerelain jauh lebih dewasa dibanding lo kayak gini," imbuh Raka seakan menjadi penutup obrolan berat kali ini.
Titan diam. Menatap Raka dengan tajam lantas merampas botol kaca berwarna hijau itu dari tangan Raka. Tanpa kata-kata, Titan menderap keluar. Tak ada satupun yang memihak dirinya.
***
"Nanti gue telpon." Dione mengacak lemput puncak kepala Rhea. Gadis itu kini tengah berjalan masuk ke kostannya, sesekali menghadap ke belakang melambaikan tangan ke arah Dione yang tersenyum tipis.
Setelah Rhea benar-benar masuk ke dalam, Dione memutar tumit melangkah pulang. Sepertinya mengantar Rhea pulang kerja akan menjadi rutinitas terfavorit bagi Dione.
Angin malam berhembus pelan, membuat Dione melangkah ringan. Sebelumnya tak pernah semudah ini untuk tersenyum.
Jalan di dalam gang tersebut sangat sepi. Dione merasa ia benar-benar sendiri, sampai sebuah bayangan seseorang tertangkap oleh indranya di ujung jalan.
Dione sebenarnya tak peduli, namun saat langkahnya kian mendekat, sapaan dari orang itu seketika menghentikan langkahnya. Dan Dione masih terlalu sehat dan muda untuk lupa siapa pemilik suara itu.
"Long time no see? kayaknya kata-kata itu terlalu basi buat kita." Tangan terkepal, sorot matanya tak terbaca. Dione bahkan merasa sesak kembali menggumpal di dadanya kala suara itu memecah keheningan malam.
"Ngapain lo di sini?" Dione berkata pelan, namun dinginnya mengalahkan angin malam ini.
Titan tertawa geli. "Emang lo siapa, sampe-sampe harus tau alasan gue di sini?"
Tangan Dione mengepal kuat-kuat. Darahnya bergejolak. Dan Dione tak bisa menahan amarahnya kali ini. Maka sedetik saat Titan menanyakan hal itu, maka detik selanjutnya kepalan tangan Dione mendarat di rahang Titan.
Bugh!
"Bangsat!" Titan bisa saja diam seperti dahulu, tapi kali ini biarkan ia berhenti mengalah untuk kali ini saja. Bersamaan dengan umpatan itu, Titan membalas tinjuan ke rahang kiri Dione.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Lagi dan lagi. Pukulan itu saling berbalasan.
"Lo nggak pantes idup lagi!" Dione tersulut amarahnya. Benar-benar sudah di puncak amarahnya.
"Kalo gue nggak pantes idup, apa lo pantes masih napas sampe sekarang, hah?! Pantes kata lo?!" Titan mencengkram kuat-kuat kerah baju Dione. "PANTES KATA LO?!" teriaknya membabi buta.
Dione terbatuk. Laki-laki itu membuang salivanya yang telah bercampur darah. Kemudian ia tertawa geli. "Lo bahkan nggak pantes nanyain itu ke gue. Sampah!"
Bugh!
Satu tinjuan lagi mengenai rahang bawah Titan, membuat cengkraman tangannya pada kerah baju Dione terlepas. "Lo nggak berbakat ngucapin selamat datang ke orang." Dione membuang salivanya yang penuh darah ke arah samping. Napasnya terperengah.
Dione hendak menderap pulang, namun suara Titan menghentikan langkahnya. "Jauhi Rhea."
Lucu sekali rasanya, sampai-sampai Dione kembali tertawa. "Justru dia harus jauh-jauh dari pembunuh kayak elo."
"Cih! Kalo gue pembunuh, elo apa?"
Gigi Dione bergemeletuk. Tidak, dia tak sama dengan Titan. Mereka berbeda. Dione bukan pembunuh. Namun kalimat itu terdengar sangat egois di benaknya sendiri. Dione tau, tapi hatinya jauh lebih penting dibanding kenyataan.
"Dari dulu lo emang enggak pernah mau sadar diri. Apatis!"
"Lo lagi ngomongin diri lo sendiri. Memaksakan perasaan orang itu apa namanya? Apatis, right?" Dione kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi suara parau Titan kembali menghentikan langkahnya.
"Gue sayang banget sama dia."
Dione bergeming beberapa saat. Lantas kembali menderap pergi meninggalkan Titan yang jatuh terduduk di aspal.
"Dulu juga lo bilang gitu ke Mimas."
____
A/n:
Beberapa chapter lagi, mungkin kalian bakal say goodbye sama Dione dkk.
See u next chapter :)Bumi,16 januari 2019.
10:45 pm.

KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.