Danial membisikkan sesuatu pada Aksa. Informasi itu diterima baik-baik oleh Aksa. Danial adalah pria berumur tiga puluh dua tahun. Selain sekertarisnya, Danial juga merupakan kaki tangannya. Dari Danial, Aksa bisa tau segala hal tentang anak-anaknya. Aksa bahkan tau Dione dan tempat perlariannya. Rumah yang dibeli Dione dengan uang jajannya.
Aksa mengangguk pelan seiring dengan Danial yang kembali berdiri tegap di depannya. "Oke, kita ke sana sekarang."
***
Titan melengos masuk ke dalam apartemen Raka seenak jidat. Wajah yang dibalut plester di beberapa bagian membuat Raka yang kini sudah berseragam putih rapih harus membuang napas kasar. Melihat Titan yang sedemikian kacau membuat Raka ikut merasa kasihan.
Raka berdecak, menyuarakan kekesalannya. "Lo semalem tidur di bar?"
Titan menatap Raka sekilas tanpa minat, kemudian langsung menerjunkan tubuhnya ke atas sofa dengan kasar.
Raka melangkah mendekati sofa, meletakkan tasnya di atas meja dengan keras, lantas mencengkeram kerah baju Titan tanpa aba-aba. "MAU MATI LO, HAH?!" Raka berteriak nyaring. Kekhawatirannya sudah dipuncak. Dan kesabarannya sudah habis.
Titan tertawa getir, merasa geli yang lebih terlihat kehancurannya. "Mimas bener, idup emang nggak ada artinya."
Bugh!
Raka memukul Titan tepat di rahangnya, membuat rahang yang tadinya memar, menjadi berdarah. "Kalo mau mati dari dulu aja, tolol! Kita mati bareng-bareng!"
Titan tertawa lagi, sesekali terbatuk dan mengeluarkan percikan darah. "Seharusnya kita mati bareng-bareng waktu itu."
Raka menghempaskan Titan ke sandaran sofa dengan keras. "Goblok!"
"Iya, Rak, goblok gue," bisik Titan seraya menatap hampa langit-langit ruangan.
Raka memejamkan matanya sebentar, kemudian menghela napas agar kembali netral. Sorot mata Raka melunak, menatap Titan dengan sorot yang tidak terdefinisikan maknanya. "Gue kayak baru aja kehilangan temen. Elu yang dulu nyelamatin gue waktu gue nyaris bunuh diri." Raka mengertakkan giginya, rahangnya terlihat tegas. "Ilang ke mana lo, goblok?"
Titan bungkam dalam pikiran yang kemelut. Sesekali peristiwa tentang Raka yang nyaris menembakkan pistol ke kepalanya sendiri berkelebat di benaknya. Ia sangat ingat, bagaimana sorot nanar Raka seolah meminta uluran tangan. Dan benar, Raka sudah kehilangan harapan hidup saat itu.
"Gue inget, waktu itu lo dobrak pintu kos kita. Terus lo ketawa liat gue naro ujung pistol ke kepala gue. Pistol yang gue curi dari lemari bokap." Suara Raka tiba-tiba menyerak. Matanya menerawang jauh ke arah Titan, mengenang hal pahit di hidupnya.
"Waktu itu lo bilang... Bunuh diri itu nggak keren. Maling itu cupu. Bunuh diri pake pistol hasil maling itu....." Suara Raka terlanjur habis tanpa menyelesaikan kalimat itu. Rasanya sesak sekali mengingat hal itu.
"Pecundang diurutan nomor satu sedaratan dan se-bikini buttom." Titan menyambung kalimat Raka yang sempat terhenti. Titan tak mungkin lupa kalimat yang ia ucapkan sendiri waktu itu.
Keduanya kemudian kompak menarik ujung bibirnya, tersenyum geli. Seolah menertawakan kembali semesta yang katanya suka bercanda.
"Tan?" Raka memanggil temannya itu dengan pelan dan tanpa sahutan. "Lo udah sejauh ini. Kalo usaha lo mengobati diri sendiri masih gagal, kenapa lo nggak coba mengikhlaskan?"
Titan tercenung, terkapar di sofa, dan masih menatap langit-langit ruangan dengan sorot hampa.
"Lo cukup dewasa untuk nggak ikut-ikutan saling menyalahkan. Tambah rumit kalo lo tetep keras kepala gini." Raka kemudian mengamit kembali tasnya, merapikan seragam dan dasinya. "Kalaupun kita nanti mati, gue harap nggak dengan cara menyakiti diri sendiri." Kemudian Raka menderap pergi, meninggalkan Titan yang tercenung di tempatnya.
***
"Kenapa sih, cowok hobi banget berantem?" Rhea membuang kapas ke tempat sampah dengan keras. Gadis itu baru saja mengobati Dione di uks sekolah.
Dione tertawa geli seraya mengacak gemas rambut Rhea. "Gue nggak berantem, Rhea."
"Lo kalo bohong kira-kira dong, Yon!" Terserah dengan keketusan nada bicara, Rhea sudah kelewat kesal.
Dione berdiri dari duduknya, tersenyum tipis dengan sorot mata yang lembut. "Maaf, ya?"
Rhea tertegun. Gadis itu bahkan mendongak demi mendapati mata hitam Dione. "Maaf buat?"
Dione menghela napas pelan. Menatap mata cokelat Rhea yang cemerlang. Laki-laki itu kemudian menggeleng pelan. "Enggak. Bukan apa-apa."
Rhea berdecak sebal. "Lo sebenernya tau kan gue khawatir banget?"
Dione mengangguk sambil tersenyum. Rhea kemudian menepuk pelan pipi sebelah kanan Dione. "Anak nakal!" seru Rhea gemas.
Dione tertawa singkat, padahal jantungnya sudah berdetak tak normal sampai detik ini. Semakin lama mengenal Rhea, semakin terlihat jelas pula segala tingkah dan kebiasaan gadis itu. Semakin membuat Dione menyadari bahwa menginggat Rhea, serta merta ikut membuat memori tentang Mimas kembali ia ingat. Dalam beberapa hal mereka sangat mirip, beberapa lainnya merupakan hal baru yang tak pernah Dione lihat sebelumnya dari orang lain termasuk Mimas. Karena Rhea dan Mimas adalah orang yang berbeda. Dan Dione sangat menyadari itu.
"Mau ikut gue, Rhe?"
"Kemana?" Rhea menyahut dengan semangat. Baginya, pergi dengan Dione adalah petualangan panjang yang tak pernah ia alami sebelumnya.
"Ke tempat Mimas."
____
A/n:
Kok gue sesek sendiri, sih?
Kenapa gue nulis orang-orang bermasalah begini, sih?
Kayaknya gue masuk ke dalam definisi kejam sekaligus nggak tega'an.Terlepas dari segala pikiran-pikiran itu, guys, aku cuma mau berharap satu hal. Harapan yang sama dengan yang Raka harapin:
"Kalaupun kita nanti mati, gue harap nggak dengan cara menyakiti diri sendiri."
See u:)
Masih di Bumi, di tempat manusia kesusahan dalam hal mengikhlaskan, 3 Februari 2020.
Slsrnda
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.