3. Terjebak di Saturnus

580 66 31
                                    

Dione mengerjapkan mata hingga perlahan pandangannya jernih kembali. Dione membenarkan posisinya sehingga ia terduduk tegap sejurus melihat sekilas jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul sepuluh pagi, dan perutnya mulai paduan suara. Ia lapar.

Dione meraih tasnya di atas meja. Namun, gerakannya terhenti saat ia mengingat beberapa kejadian tujuh jam yang lalu, sebelum ia tertidur pulas setelahnya.

Selain ngantuk, alasan ia tidur adalah lari dari kenyataan. Dia bukan pengecut, Dione hanya lelah terus-menerus menjadi boneka di hidupnya. Ia tak punya kuasa sedikitpun atas apa yang ingin ia jalani.

Tujuh jam berlalu, lantas di mana sekarang perempuan itu? Di mana Rhea?

Dione mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia tak menemukannya. Dione lalu menaikan bahunya cuek. Berusaha tak peduli.

Dan sekarang, perut Dione berbunyi lagi. Jujur, ia belum makan apa-apa dari semalam. Gimana mau makan? Mendengar ocehan ayahnya saja sudah membuatnya kehilangan nafsu makan.

Laki-laki yang dikenal pendiam dan jarang berekspresi itu, mengamit ponselnya dan segera memesan makanan cepat saji. Dibanding harus jalan ke kafe atau restoran, Dione lebih suka memesannya lewat telpon. Tipe laki-laki yang paling anti dengan hal-hal ribet.

Setelah memesan makanan, Dione iseng membuka instagramnya. Meskipun tak ada satupun foto yang ia posting, namun followers yang akunya miliki cukup banyak, hampir 500 ribu. Pandangannya beralih pada dm dari seseorang. Meski sudah berkali-kali ia baca, namun ia tak berniat sedikitpun untuk membalasnya. Untuk apa? Untuk apa mengulang kisah yang sama dengan orang yang sama pula? Hanya buang-buang waktu dan tenaga, bukan?

"LO MAU NGERJAIN GUE? IYA?!" Sentakan itu membuyarkan lamunannya, menyeret Dione kembali pada kenyataan.

Dione sempat terkejut sebentar. Ia menatap dengan sorot tak terbaca pada sesosok perempuan yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya. Dia Rhea. Perempuan itu Rhea Sheilendra. Tapi tunggu dulu, kenapa di tangannya ada kantong plastik bening, yang Dione yakini kalau benda di dalamnya adalah kotak makanan yang ia pesan. Lalu, mengapa perempuan ini memakai seragam khas karyawan restoran? Oh, jadi....

"Lo mbak-mbak pengantar orderan makanan?" Entah polos atau terlalu lugu, ucapan Dione benar-benar membuat Rhea kesal.

Rhea cemberut. Meletakkan dengan kesal plastik berisi makanan di meja samping Dione. Tangannya lalu refleks menjitak kepala Dione keras.

Dione meringis. Serius itu tangan cewek? pikirnya dalam hati.

"Lo kasar banget jadi cewek," ujar Dione seraya mengusap-usap kepalanya.

"Siapa suruh ngerjain gue!" sungut Rhea seraya bersedekap tangan.

"Gue? Ngerjain elo?" Dione mendengus geli. Namun sedetik kemudian merubah kembali ekspresinya menjadi datar. "Gue nggak sekurang kerjaan itu!"

"Ngeles aja lo, Kang Bajaj!"

"Terserah lo. Gue males debat," Dione berkata tenang, membuat Rhea berdecak sebal. "Yaudah, deh. Jadi semuanya tujuhpuluh lima ribu."

Dione merogo sakunya, mengeluarkan uang selembar seratus ribu lantas menyerahkannya pada Rhea. "Ga ada uang pas, ya, Masnya?" Dione menggeleng sebagai jawaban membuat Rhea menghela napas kasar.

"Ambil," ujar Dione ringan.

Rhea mengernyit tak suka. "Gue bukan pengemis!"

Mendengar itu, Dione menaikan satu alisnya. "Emang gue bilang gitu?"

"Ishh! Udah, ah. Gue sibuk. Nanti kembaliannya bakalan gue kasih."

"Yaudah, balik sana!" usir Dione seraya mendorong pelan bahu Rhea.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang