22. Titik Penghubung

206 25 0
                                    

Dione terjebak.

Kelelahan. Dia terjebak di ruang sempit dan gelap. Matanya berpendar percuma, tak ada yang terlihat di sana. Dia berlari, entah dari apa. Ia berlari sampai keringatnya membanjiri tubuh, tapi sia-sia, ia hanya berputar di sepetak ruangan itu.

Dione berhenti bergerak. Tangannya bertopang di dengkulnya. Napasnya tersengal. Sial! Sesak itu kembali menyempitkan dadanya. Tak ada apa-apa di ruangan gelap itu, hanya saja suara seorang gadis kian nyaring memenuhi ruangan.

Dione! Tolong! Tolong gue!

Jantungnya seakan dirampas paksa. Tak dapat lagi ia mendengar denyutnya.

Dione ... tolong gue, Yon. Gue... sakit.

Dione memejamkan matanya rapat-rapat. Kalau bisa, ia ingin kembali berlari. Ia ingin menatap wajah gadis itu sekali lagi. Ingin sekali rasanya Dione mengeratkan genggamannya lantas menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Tapi nyatanya, Dione tak bisa apa-apa.

Pengecut!

Entah berasal dari mana, suara Rhea ikut masuk indranya.

Dione... tolong, Yon. Gue sakit. Gue... kesakitan.

Lo juga manusia, Yon.

Dione... tolong.

Lo menipu diri lo sendiri.

Gue kesakitan.

Pengecut!

Nggak! Gue bohong kalo gue bilang gue baik-baik aja.

Kita manusia, Yon. Kita mengecewakan.

Begitu seterusnya. Sahutan-sahutan itu terdengar gaduh di tempurung kepalanya. Dione sontak menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Dione merasa diteriaki kuat-kuat. Dione merasa telinganya akan segera hancur. Ia merasa kepalanya akan segera meledak.

Suara-suara itu. Tangisan-tangisan itu. Hinaan. Makian. Permintaan. Raut memelas. Raut kekecewaan. Raut kemarahan. Suara minta tolong. Semua itu terasa memenuhi kepalanya. Dione merasa pening, tubuhnya limbung jatuh ke lantai yang dingin.

Tolong!

Pengecut!

Dione mengertakkan giginya. Ia sudah tak tahan lagi. Dadanya berkali-kali lipat dari biasa sesaknya. Jantungnya? jangan ditanya berapa kali ia merasa kesakitan saat jantungnya terasa diambil paksa.

"Cukup! Cukup!" Dione merintih. Memohon ampun. Minta denyutnya dikembalikan.

"Cukup!" Lagi. Dione merintih tertahan. Dia sudah tak kuat lagi.

"ARRGGHHH!" Dione mengerang hebat, sampai sinar matahari menyorot wajahnya dari cela-cela jendela kamar. Menyilaukan matanya. Menghancurkan jiwanya.

Dia bermimpi. Buruk. Sangat buruk.

***

Rhea duduk di dalam ruangan seni sendirian, padahal kelasnya tak ada jadwal kesenian hari ini. Dagunya ia topang dengan telapak tangannya, ia sendang menunggu.

Rhea mengangkat pandangan saat suara langkah kaki mendekat ke tempatnya duduk. Dione masuk ruangan dengan langkah pelan. Seperti biasa, rautnya selalu tenang dan tak berekspresi. Rhea memutar bola matanya, membuang muka ke arah samping.

Dione duduk di sebelah Rhea. Matanya menilik raut gadis itu. Dione tersenyum kecil, terlihat sangat kaku. Dione menghela napas pelan. "Maaf," ucapnya tulus.

Rhea berbalik menatap Dione. Mata mereka kembali dipertemukan pada satu titik, nestapa. "Minta maaf kedengeran percuma kalo lo nggak belajar dari kesalahan lo."

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang