16. Seblak atau Rancun?

253 29 3
                                    

"Jadi gini, ya, rasanya?" Dione bertanya pelan, seakan pertanyaan itu memang ditunjukan hanya untuk dirinya. Sedetik setelahnya, senyum tipis terukir indah di wajah laki-laki itu.

"Hah?" Rhea tersentak kecil. Matanya bertemu dengan iris hitam milik Dione, yang duduk di sampingnya. Lalu, saat matanya menangkap senyum dari laki-laki itu, rasa nyaman mengaliri dadanya. Gadis itu merasa nyaman, sampai senyum Dione menular ke wajahnya.

Laki-laki itu mengusap kepala bagian belakangnya, salah tingkah. "Ini pertama kalinya gue naik bus."

Rhea tertawa pelan. Lucu rasanya melihat tingkah Dione saat ini. Dan seperti tau arti tawa itu, Dione mendengus geli, "Norak, ya?"

Rhea tertawa lagi. Tangannya ia kibas-kibaskan ke arah Dione. "Enggak norak kok. Lo cuma. .." Rhea diam sebentar, mencari kosa kata yang pas untuk Dione. "lucu...?" sambung Rhea, disusul senyum kikuk setelahnya.

"Lucu?" Laki-laki itu mengulangi kata terakhir yang gadis beriris cokelat itu ucapkan, seakan meminta penjelasan lebih.

Rhea bungkam. Matanya menabrak iris milik Dione. Mata Dione selalu berhasil menghipnotisnya. Jika boleh, Rhea ingin terjebak di iris jelaga milik Dione selamanya.

"Re?" panggil Dione. Merasa tak dapat respon apa-apa, laki-laki itu mengulangi panggilannya sekali lagi, "Rhea?"

Dan seperti terseret ke kenyataan, gadis itu mengerjapkan mata dua kali, menyadari kalau ia masih di Bumi.

"Hah? Iya?" sahut Rhea, terdengar seperti orang bingung.

"Kok bengong?"

"Siapa? Gue?"

Dione tertawa kecil. Rhea memang lucu.

"Kenapa sih, Re?" tanya Dione di sela tawanya.

Rhea nyengir, menutupi kebodohannya. Kenapa juga ia harus gugup dan bingung seperti ini?

"Nggak apa-apa," kata Rhea, membuat Dione mengangguk pelan.

"Oh iya!" Dione tiba-tiba tersentak kecil seperti ingat sesuatu. "makan seblak sama gue, mau?" tanya Dione yang tentu saja dijawab Rhea dengan anggukkan kepala. "Sekarang?" tanya Rhea memastikan.

"Emang bisa kalo sekarang?" Seingat Dione, gadis itu harus bekerja sepulang sekolah, mengingat Rhea adalah pekerja paruh waktu.

Rhea mengangguk. "Bisa, lagian gue kerja mulai jam lima sore kok." Gadis itu lantas melirik jam di pergelangan tangannya, lantas kembali menatap Dione. "masih satu jam lagi."

Dione tersenyum senang. Akhirnya, sebentar lagi ia akan tau bagaimana rasa seblak. Jujur, ia sangat penasaran sejak Rhea melontarkan kata seblak sewaktu di koridor sekolah.

***

Mobilnya terparkir di depan restoran yang kini sangat sering dikunjunginya. Masih sore, dan Titan tak menemukan tanda-tanda keberadaan seorang Rhea.

Titan tercenung dengan dagu yang bertumpu pada stir mobilnya. Meski samar-samar, ia masih ingat bagaimana suara seseorang saat ia menelpon Rhea. Suara laki-laki.

Ia gusar, dan anehnya, ia tak tau sebabnya apa. Yang ia tau perasaannya sangat tak enak sekarang.

Titan berdecak. Dan decakan itu menariknya ke kenyataan. Ia mengambil ponselnya, yang sebelumnya ia lempar ke kursi di sampingnya, lantas kembali menghubungi seseorang di seberang sana.

Tercatat sudah limpuluh empat kali ia menelpon Rhea. Namun, alih-alih mengangkat, Rhea malah menolak panggilan itu. Dan saat panggilan ke limapuluh lima kali, nomor Rhea sudah tak aktif. Perempuan itu mungkin sengaja mematikan ponselnya.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang