Untuk apa saya duduk di rakitan kayu itu? Sedang saya bisa membumi.
____Dione menyambar hoodie hitamnya. Handpone miliknya ia masukkan ke dalam kantong hoodie. Dione melangkah keluar dari rumah abu-abu, tak lupa mengunci pintu sebelum pergi.
Langkah kaki itu membawanya melintasi jalan beraspal. Matanya berpendar memperhatikan sekitar. Perlahan tangannya terjulur, menutup kepalanya dengan tudung hoodie. Senyum tipis tercetak diwajah tampannya.
Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Rhea. Jujur, Dione sebenarnya sedikit merasa kehilangan. Mengingat mereka seperti sama-sama menghindar tiga hari belakangan.
Ngomong-ngomong tentang Dione yang berjalan menuju restoran, pasti kalian bertanya-tanya kenapa Dione selalu jalan kaki jika hendak keluar rumah?
Pernah satu hari Rhea menanyakan hal serupa. Awalnya Dione enggan menjawab. Tapi karena gadis itu mendesaknya, Dione akhirnya memilih jujur. Dione saat itu bilang pada Rhea bahwa;
"Jalan kaki itu ... selain sehat, gue juga bisa lebih memerhatikan jalan sekitar gue. Gue bisa memerhatikan jalanan sampai hal-hal terkecil, yang menurut manusia ga penting." Dione menjeda kalimatnya. Matanya menerawang jauh ke langit sore atap sekolah.
"Bokap gue selalu ngasih fasilitas. Mobil, motor, uang jajan yang cukup. Bisa aja 'kan gue bawa mobil atau motor kemana-mana. Atau kalo mepet, gue juga bisa naik angkutan umum dengan duit jajan gue. Tapi rasanya, gue lebih suka jalan kaki, " Dione tertawa kecil, lantas menyambung kalimatnya, "karena dengan jalan kaki, selain gue bisa dengan leluasa merhatiin sekitar, gue juga bisa nginget Mama."
Dan detik setelahnya, Rhea bungkam. Tak berani menanyakan lebih jauh lagi tentang Dione. Bukan, bukannya Rhea takut, hanya saja air muka Dione berubah drastis saat bercerita. Terlihat seperti seseorang yang menahan sakit sebab mengorek luka lama.
Benar, bagi Dione, tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dan mengenang. Tidak, Dione sama sekali tak suka mengenang. Karena saat mengenang dadanya terasa sesak, dan sesak itu akan berlipat ganda saat mimpi buruk masa lalu kembali menghampiri lelapnya. Dan Dione benci hal itu.
Dione melambatkan langkah. Matanya menatap seorang kakek sedang duduk beralaskan koran di depan kedai makan. Kakek tua itu menopang dagunya dengan telapak tangan, terlihat sangat mengantuk.
Dione memutar tumit, berjalan mendekat ke arah si kakek. Antara kasihan dan bingung, begitulah kira-kira yang dirasakan Dione. Kakek tua itu ternyata seorang penjual kursi kayu.
Mendengar langkah kaki yang berhenti di depannya, kakek itu membuka mata lantas mendongak. Sang Kakek membenarkan posisi kaca mata kuda miliknya. Seulas senyum terbit di wajah tuanya.
Dione membalas senyum, sangat tipis.
"Mau beli kursi, Nak?" Kakek itu bertanya ramah, membuat Dione menurunkan tudung hoodienya.
Dione berjongkok. Matanya menyipit, dia tersenyum lebar. "Kursi-kursi ini ..." Dione tercenung sebentar, sedang si kakek menunggu kalimat Dione selanjutnya.
"Saya dari jauh merhatiin Kakek. Kayaknya kakek ngantuk banget?" tanya Dione, ada nada ragu disana.
Sang Kakek menghela napas, terdengar seperti kelelahan. Kemudian Kakek tua itu mengangguk. "Iya, saya tadi ngantuk sekali," kata Kakek itu seraya terkekeh pelan.
Dione tersenyum kaku. "Maaf kalo saya lancang." Dione menggaruk pipinya bingung, lantas kembali bersuara, "Saya dari jauh ngelihat Kakek duduk di atas koran, kadang kepala Kakek nyaris jatuh ke bawah saat Kakek mulai memejam."
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.