Seolah menjadi rutinitasnya, Laki-laki pemilik iris segelap malam itu sedang duduk di bangku taman yang sepi. Matanya menerawang jauh ke atas langit sore yang mulai dijatuhi warna jingga. Dalam hidupnya, tidak sedetikpun ia jatuh cinta pada senja. Namun, ia selalu merasa nyaman saat sore jatuh di langit. Alih-alih mencintai senja, ia lebih suka ketenangan dan keheningan. Sampai isak tangis samar-samar indranya tangkap. Membawanya kembali pada kenyataan yang tak seindah khayalan anak umur lima tahun.
"Iya udah, atuh, Ma. Kita udah bahas ini ratusan kali. Aku nggak bakalan mau berhenti. Aku udah kerja keras sampai sejauh ini. Kalo mama nggak suka, aku juga nggak bakalan peduli. Aku nggak bakalan berhenti."
Laki-laki itu menebak, pasti perempuan dengan isak tangis menyebalkan itu sedang mengobrol melalui sambungan telepon, sebab tidak terdengar sahutan selain deru angin yang menerbangkan daun. Sejujurnya situasi seperti ini sangat mengesalkan bagi Dione. Keningnya mengerut. Lagi pula siapa, sih, yang berani mengganggu jam-jam tenangnya?
Laki-laki itu hendak bangkit dari duduknya, tapi urung. Dia memilih diam dan menyandarkan kembali punggungnya sejurus memejamkan matanya perlahan. Dia berusaha untuk tak peduli.
Baru saja beberapa detik matanya kembali terpejam, kebisingan kembali masuk indra pendengarannya dengan paksa.Suara itu berupa isak tangis, yang laki-laki itu yakini adalah milik perempuan yang tadi berbicara di telepon dengan seseorang entah di seberang mana. Suara itu, suara yang sangat ia benci. Isakan, tangisan atau apalah itu yang membuat seseorang terdengar lemah di hadapan dunia. Dia benci tangisan. Dia benci air mata.
Dione, begitu laki-laki sedingin es itu disapa, kini bangkit dari duduknya. Dione menyeret langkahnya mendekati suara isak tangis itu. Makin ia melangkah, makin terdengar jelas pula tangisan itu. Tepat saat langkahnya terhenti, matanya menangkap sosok dengan rambut terurai indah yang hampir menutupi setengah bagian tubuhnya. Perempuan itu duduk di hadapannya dengan telapak tangan yang menutupi wajah.
Diperhatikannya lamat-lamat sosok perempuan itu. Telapak tangannya masih menutupi wajahnya, rambut cokelat gelapnya jatuh sempurna menutupi wajahnya. Rambutnya lurus, mengkilap juga. Dione sempat bertanya dalam hati, pakai shampoo merk apa perempuan ini?
Mendengar langkah kaki yang ia yakini berhenti di hadapannya, perempuan itu menghentikan isak tangisnya, meski masih sesegukan. Telapak tangannya terbuka perlahan, bahunya kembali naik. Dan saat matanya terbuka sempurna, sesosok laki-laki sudah berdiri di hadapannya, berdiri seraya sedikit menunduk melihat dirinya yang kini terlihat kacau. Dengan cepat perempuan itu mengelap kasar hujan di pipi dengan telapak tangannya. Lucunya, ia dihujani saat Bumi sedang kering-keringnya.
Dione menatap datar ke arah perempuan itu. Mata mereka bertemu. Selain rambut yang cokelat, perempuan itu juga punya iris yang senada dengan warna rambutnya. Hidung dan matanya terlihat memerah. Jelas sekali kalau ia habis menangis.
"Apa liat-liat?!" ketus perempuan itu dengan mata yang sudah menyipit curiga.
"Berisik!" Pelan namun tajam, begitulah nada bicara seorang Dione.
Gadis itu mendelik tajam ke arah Dione yang masih saja tak berekspresi. Masih dengan tatapan datarnya ke arah gadis itu, tangan Dione merogo saku celananya dan mengambil selembar kain dari dalam sana, sapu tangan berwarna abu-abu polos. Kemudian dengan wajah yang seolah tanpa dosa itu Dione melemparkan benda persegi ke wajah perempuan di hadapannya.
"Woi! Apaan, sih? nggak sopan banget!" Perempuan itu berseru kesal seraya menarik sapu tangan abu-abu milik Dione dari wajahnya.
"Lo berisik." Setelah dua kata dengan intonasi yang datar itu terjun bebas dari bibirnya, Dione melangkah pergi dari tempat tersebut, meninggalkan perempuan berambut cokelat gelap itu menatap kesal ke arah punggung Dione yang makin menjauh dari pandangannya. Dicengkramnya kuat-kuat sapu tangan abu-abu itu dengan jemari mungilnya. Ini mungkin akan jadi pertemuan pertama yang memalukan baginya.
***
"DARI MANA KAMU?!"
Baru saja kakinya menapaki anak tangga pertama menuju kamarnya di lantai dua, pertanyaan itu membuat langkahnya terhenti sesaat. Langkahnya terhenti, namun tubuhnya tak berbalik sedikitpun.
"Bolos bimbel lagi kamu, hah!" sentak pria paruh baya yang kini berdiri di belakang Dione dengan tangan yang bersedekap.
"Jangan buat papa marah, Dione!" peringat Aksa, ayahnya Dione.
Dione hanya diam. Meski telinganya terasa panas karena hampir setiap hari mendengar ocehan ayahnya, tetap saja laki-laki itu diam. Dia tak ingin jadi anak durhaka. Ah tidak, lebih tepatnya, ia tak ingin memperpanjang masalah dengan ayahnya yang selalu benar itu.
"DIONE ALEANDRA!" Aksa meneriaki anaknya, namun Dione memilih kembali melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Papa belum selesai sama kamu!"
Meninggalkan teriakan ayahnya di ruang tengah, Dione membuka pintu kamarnya, masuk ke dalam dan menutup pintu dengan keras sehingga suaranya terdengar sampai ke lantai bawah. Dia melempar tasnya ke sembarang tempat, melepas dua kancing teratas seragamnya, menghidupkan AC, kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk yang lebih terasa seperti ubin yang dingin dan kaku.
Matanya menatap langit-langit kamar dengan sorot hampa. Kamarnya gelap, sengaja tak ia hidupkan lampunya. Namun, cahaya senja masuk ke cela-cela jendela kamarnya, membuat langit-langit kamarnya nampak indah walau terkesan remang-remang.
Masih dengan mata yang tak lepas dari langit-langit kamarnya, Dione mendengus geli, kontradiksi dengan suasana hatinya. Dia benci hidupnya. Dia benci bimbel. Dia benci ayahnya yang selalu memaksanya mengikuti belasan kursus. Dia benci dunianya. Dia benci rumahnya. Dia benci dipaksa jadi seseorang yang berambisi seperti ini. Dia benci segalanya. Segala yang ada di hidupnya.
Dia benci Bumi!
_____
A/n:
Aloooooo! Aku balik lagi! Semoga kalian enjoy sama cerita ini
Oke, sampai ketemu lagi.
Bumi,26 maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.