Gadis itu melangkah pelan menuju suatu tempat, yang di mana dia tak sengaja melihat Rhea masuk ke dalam sana. Di tangannya ia menggenggam kantong plastik berisi cemilan kecil dan dua botol air mineral, gadis itu pergi ke kantin sebelum menemui Rhea di ruang seni.
Gadis berambut panjang itu melangkah pelan menuju ruang kesenian. Matanya berbinar, senyumnya mengembang. Dia senang sekali punya teman baru seperti Rhea. Meski kerap kali gadis itu dapat menangkap penolakan secara halus dari gestur Rhea, secara langsung maupun tak langsung. Tapi tidak masalah, karena tujuan utamanya adalah agar ia dapat kembali dekat dengan Dione. Tak ada yang tidak tau kalau seorang Rhea kini sedang dekat dengan laki-laki berjuluk es kutub itu.
Langkah Phoebe tiba-tiba terhenti. Kakinya terasa membeku dan tertanam di atas lantai. Sebuah percakapan sayup-sayup terdengar di telinganya.
"Gue pengen punya hak buat ngelarang lo untuk nerima Titan."
Deg.
Phoebe kenal betul suara itu. Itu suara Dione, suara yang tak pernah bisa ia lupa. Phoebe merapatkan tubuhnya ke dinding, mencari posisi teraman agar ia tak ketahuan sedang menguping.
"Lo bahkan nggak kenal Titan." Itu suara Rhea. Phoebe yakin sekali.
Gadis itu merapatkan bibirnya, matanya memejam seperkian detik. Nama Titan berkali-kali disebutkan, dan gadis itu berharap semoga Titan yang mereka bicarakan bukanlah seorang Titan Antonio. Ya, semoga saja.
"Titan Antonio?"
Sial! Pernyataan Dione benar-benar berhasil membuat dadanya sesak seketika. Sangat sesak rasanya, seperti ada ribuan batu besar menimpa dadanya.
Phoebe kembali memejamkan matanya. Tangannya mengerat mengenggam kantong plastik. Dia bahkan tak sanggup mendengar kembali percakapan dua orang itu. Sakit. Sakit sekali rasanya. Ia bahkan kesusahan dalam bernapas. Kalau bisa, ia ingin menghilang sekarang juga.
"Baik Titan, maupun Phoebe... Jauhin mereka, Re."
Phobe menghela napas sejenak. Dia sudah menolak mendengarkan, namun telinganya seakan punya kendali sendiri.
"Menurut lo gue berhak tau alasannya, ga?"
Phoebe meletakkan kantong itu ke lantai dengan perlahan. Gadis itu berjongkok memegangi lututnya yang melemas. Gadis itu menggeleng kuat. Tidak. Dia tak bisa mendengar percakapan itu lebih lama lagi.
"Mereka jahat, Rhea. Mereka pembunuh!"
Deg!
Deg!
Seketika dunianya seakan dijungkir balikkan. Gadis itu memegangi dada sebelah kirinya, berharap denyutnya tak hilang. Matanya yang sedari tadi memanas, akhirnya mengeluarkan hujan juga. Dia sudah coba menahannya mati-matian. Namun kali ini, otak dan tubuhnya seakan tak dapat diajak kompromi. Dia sesak. Sesak sekali.
Phoebe berdiri dengan gerakkan pelan. Tangan lainnya yang tak memegang apapun ia gunakan untuk membekap mulutnya, menahan isak yang menggila. Dengan langkah tertatih, ia pergi dari sana. Pulang. Ia ingin pulang sekarang juga.
***
Rhea mendaratkan gumpalan kertas tepat mengenai sebelah pelipis Sam, yang duduk di seberang mejanya. Sam meringis pelan, takut Bu Ine melemparnya dengan spidol atau penghapus papan tulis. Bu Ine adalah guru kimia yang terkenal sangat tegas. Telinganya sensitif sekali. jika ia mendengar siswa mengobrol saat ia sedang mengajar, siap-siap saja spidol melayang ke kepala, siap-siap juga penghapus papan tulis berbahan kayu keras mengenai ubun-ubun. Bahaya!
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.