36. Saturnus

222 17 3
                                    

___

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___

"Sekarang mau ke mana, Tuan?"

"Ke manapun anak itu pergi."

Dan begitu saja. Perintah pria itu seolah harga mutlak bagi seorang hamba sahaya.

***

Titan mengendarai mobilnya gila-gilaan. Mobil tua itu dipaksa menebas jarak dalam kecepatan di atas kemampuannya. Mengumpati pengguna jalan yang lain, Titan terang-terangan membuka kaca jendela mobilnya saat kakinya tanpa aba-aba menginjak rem. Sebuah motor yang dikendarai laki-laki berseragam sekolah menengah atas itu ikut berhenti tepat di depan matanya. Mereka sama-sama terkejut.

Wajah laki-laki itu sedikit pucat, namun dengan lantangnya Titan mengumpat dari kursi pengemudi dengan kepala menyembul ke luar. "Minggir bangsat, mau mati lu, hah?!" Padahal dari sudut pandang juga sisi sebelah manapun, Titanlah yang salah saat itu. Bagaimana tidak, Titan berusaha menerobos lampu merah saat pengguna jalan lain sedang sibuk-sibuknya berlalu-lalang. Singkatnya, Titan tolol dan benar-benar tersulut amarah.

Cibiran dan tatapan kebencian terutuju pada Titan dan mobil tua itu. Beruntungnya, laki-laki berseragam itu memilih berlalu tanpa memperpanjang masalah dengan Titan. Dan kabar baiknya lagi, lampu hijau baru saja menyala. Hal yang membuat Titan kembali menancap gasnya.

Titan melirik sekilas ponselnya yang berdering di kursi sebelahnya. Pemuda itu mengaitkan earphone yang terhubung dari ponselnya, ke salah satu daun telinganya agar dapat leluasa mendengar suara si penelpon.

"Tan...." Itu suara Raka. "Lo di man-- MAU NGAPAIN LO?!" Suara Raka naik satu oktaf saat indranya menangkap deru napas Titan yang tak teratur, serta bising jalan raya yang Titan trobos, juga makian dan klakson pengguna jalan lainnya yang menyumpahi Titan.

"Nyari mati!" Titan kemudian melepas earphonenya, kemudian melemparnya ke sembarang tempat.

Sementara mobil melaju membela jalan dengan sangat cepat, di pikiran Titan hanya ada satu tempat. Tempat yang seharusnya ia datangi lebih awal.

***

"Tunggu di sini sebentar. Ada yang harus gue tunjukin. Lo bakal tau semuanya sebentar lagi."

Dione beranjak membuka lemari kayu di sudut ruangan rumahnya. Sementara Dione mengobrak-abrik isi lemarinya, di kursinya Rhea dibuat geleng-geleng kepala memerhatikan Dione.

"Mau gue bantu cari?" tawar Rhea seraya tersenyum geli.

"Duduk aja," titah Dione.

Getar diponselnya lagi-lagi mengacaukan fokusnya. Rhea hampir sepuluh kali mendapat telepon dari ibunya. Rhea bukannya tak ingin dihubungi, namun ujung pembicaraan keduanya akan berulang pada menyakiti satu-sama lain. Rhea dengan perasaan dibohongi, dan ibunya merasa sakit saat Rhea menyinggung tentang keberadaan ayahnya. Seperti obrolan mereka terakhir kali.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang