4. Manusia

510 65 35
                                    

Dione menerjunkan tubuhnya di atas kasur berseprai abu-abu. Dia baru saja pulang ke rumah ayahnya. Saat ini Dione bisa bernpas lega atau kalau tidak sujud syukur saja sekalian. Sebabnya, sekarang sudah pukul sembilan malam, dan kabar baiknya sang ayah belum pulang ke rumah.

Dione memang sengaja pulang lebih awal. Dia tak mau berlama-lama di rumahnya karena Rhea tak mau angkat kaki dari tempatnya. Dione sudah mengusir Rhea, tapi Rhea tetap keras kepala. Cewek itu memang betah berlama-lama di rumahnya. Entah karena apa, Dione juga tidak tau. Untungnya Dione cukup pintar, Dione beralasan ingin keluar untuk cari makan dan menyuruh Rhea untuk pulang ke rumahnya, tak lupa menakut-nakuti Rhea dengan mengarang cerita tentang sosok makhluk halus yang selalu duduk di sudut ruang tengah.

Rhea memang penakut, jadi ia memilih untuk ikuti Dione untuk cari makan, daripada diganggu makhluk halus hasil karangan bebas Dione. Namun, di tengah perjalanan, dengan akal bulusnya Dione meninggalkan Rhea dan beralasan kebelet ingin cari toilet karena ada panggilan alam. Tapi pada kenyataanya, Dione pulang dan meninggalkan Rhea begitu saja.

Sejenak Dione mengulum senyum tipis. Mengingat tentang ia yang mengerjai Rhea membuat ia geli sendiri. Dan dari semua hal itu, ada satu hal yang tak Dione sadari. Ia tak sadar kalau sejak pertemuannya dengan Rhea, ia jadi lebih sering tersenyum meski seringkali menahannya mati-matian agar tak terlihat oleh Rhea. Dan tanpa ia sadari juga, kehadiran Rhea seperti menariknya kembali pada kehidupan di Bumi setelah bertahun-tahun ia bersembunyi di planet yang ia bangun sendiri.

Tok... Tok... Tok....

Suara ketukan pintu menyeretnya ke realita. Membuat tubuhnya terpaksa terseret untuk membuka pintu. Saat pintu kamar terbuka, sosok perempuan paruh baya sudah berdiri di hadapannya. Dione diam, menunggu wanita itu memulai kata.

"Mas Dione ditunggu bapak di ruang makan," ucap Bi Mina.

"Perasaan tadi belum pulang, Bi?" tanya Dione sopan.

"Iya, Mas. Barusan aja bapak pulang. Ga mandi, ga ganti pakaian, langsung aja bapak duduk di ruang makan. Kayanya bapak lagi capek banget." jelas Bi Mina pada Dione.

Dione menghela napas sejenak, sebelum akhirnya kembali bersuara, "Yaudah, Bi, saya ganti baju dulu." Bi Mina mengangguk, kemudian berlalu dari hadapannya dan kembali ke dapur. Sedang Dione kembali menutup pintu dan mengganti pakaiannya.

Setelah berganti pakaian, Dione menyeret kakinya menuruni anak tangga lantai dua menuju ruang makan. Belum sampai tangan Dione meraih kursi untuk menariknya dan duduk di sana, tangannya terhenti oleh sebuah kalimat yang dilontarkan ayahnya,

"Bosen kamu jadi anak papa, Yon?"

Meski terhenti sejenak, tangan Dione kembali menarik kursi dengan gerakan pelan dan duduk di sana dengan tenang, seperti kalimat dari ayahnya itu hanya angin lalu. Memang sudah seharusnya begitu, bukan? Dione sudah kebal dengan sindiran dan hinaan dari ayahnya. Bukan kebal, lebih tepatnya dipaksa terbiasa dengan kalimat pedas ayahnya.

Tanpa berniat menjawab pertanyaan ayahnya, Dione membalikkan piringnya, dan dengan sigap Bi Mina menaruh nasi serta lauk-pauk di piring Dione.

"Makasih, Bi," ucap dione sopan.

Bi Mina mengangguk seraya tersenyum tulus. Kemudian, Bi Mina beralih ke arah Aksa, "Saya izin ke kamar dulu. Kalau perlu sesuatu, tuan panggil saya saja." Bi Mina berlalu meninggalkan dua manusia yang sudah bertahun-tahun lamanya perang dingin.

Aksa menghentikan pergerakkan tangannya dengan sendok dan garpu di kedua tangannya, lantas menatap Dione yang berada di hadapnnya intens.

"Bolos les lagi kamu?" Suara Aksa menyeruak ke seisi ruangan. Meski tak bisa dikatakan keras, suara itu dapat memecah keheningan di meja makan.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang