Rhea meregangkan tubuhnya, semacam kebiasaan sebelum tidur. Kemudian, gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Gadis itu menghela napas, ia cukup lelah hari ini.
Sepulang dari rumah Dione, gadis itu langsung pergi ke tempat kerjanya. Berutung ia hari ini bawa baju ganti di tasnya. Di tempat kerja, ia sangat sibuk. Ares yang bertugas mengantarkan pesanan lewat aplikasi, tak masuk kerja, ibunya sedang sakit katanya. Maka dari itu, Rhea harus bekerja ekstra menggantikkan Ares, sedang Syifa menggantikan dirinya menjadi kasir sementara.
Rhea menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas lagi, gadis itu kini larut dalam lamunannya. Pikirannya sudah cukup rumit akhir-akhir ini. Mulai dari kehadiran Phoebe, kembalinya Titan ke Jakarta dengan misi dari ibunya, juga tentang pernyataan mengejutkan dari seorang Dione yang notabene tipe manusia yang menutup rapat-rapat tentang dirinya.
"Arrggghh!" Rhea mengerang kesal. Kenapa juga ia harus masuk ke dalam kerumitan ini? Sial! Rhea mengumpat dalam hati.
Selanjutnya, ia kembali melamun. Detik-detik terbuang sia-sia setelahnya. Dia sangat lelah, tapi tak bisa tidur. Gadis itu menghela napas lagi, siap-siap saja besok bangun kesiangan.
Denting piano terdengar sangat menenangkan, suara itu berasal dari ponselnya. Seperti diseret paksa ke realita, gadis itu sontak terduduk di atas ranjang, tangannya mengamit ponsel di atas nakas. Di layar benda pipih itu, sebuah kontak dengan nama Mama, tercetak di sana. Rhea tak langsung menggeser tombol hijau, melainkan diam sebentar. Kalau diingat-ingat hampir dua minggu ia tak mendengar suara ibunya di sambungan telepon. Dan sebenarnya, ia merindukan wanita paruh baya itu.
Rhea akhirnya menggeser tombol hijau, menempelkan benda pipih itu ke daun telinga setelahnya.
"Assalamualaikum," salam itu terucap sedetik setelah panggilan tersambung.
"Waalaikumussalam," Rhea menjawab salam sang ibu sebelumnya.
"Teteh di sana gimana? Baik-baik aja, kan?" Rhea tersenyum, menangkap nada khawatir sang ibu.
"Baik. Mama di Bandung baik-baik aja, kan?" Gadis itu bertanya balik.
"Mana bisa mama baik-baik aja, sementara Teteh di sana sendirian. Mama khawatir, kesepian juga."
Rhea tersenyum kecut, menginggat ibunya yang bersekongkol dengan Titan. Kenapa juga ibunya harus meminta Titan untuk membujuknya pulang.
"Teteh?"
"Ah, iya, Ma?"
"Hmm... tuman, melamun wae."
Rhea terkekeh garing, sebenarnya enggan menyahut.
Ibunya diam, sedang Rhea mendadak menghentikan kekehannya. Suasana mendadak hening. Dan Rhea detik itu tau, sebentar lagi, ibunya pasti mengungkit hal-hal yang tak ingin ia dengar sekarang. Tolong, Rhea sudah cukup lelah hari ini.
"Udah satu tahun lebih Teteh di Jakarta, ya?" Rhea menghela napas, tuh kan Rhea sudah dapat membaca isyarat dari pertanyaan retoris itu.
"Ma...." Rhea mendesah berat, ia sedang malas mengorek luka.
"Pulang aja, Rhea. Papa kamu itu... sudah meninggal."
Entah kenapa, sedetik setelah kata terakhir ibunya ucapkan, napas Rhea mendadak naik turun. Matanya memanas, giginya bergemeletuk. Jantungnya? Bahkan Rhea lupa kapan terakhir ia bisa merasakan denyutnya.
"Bohong! Mama bohong!" Rhea tanpa sadar berteriak. Walau terdengar samar, isak tangis mulai terdengar dari sambungan telepon. Dan untuk kesekian kalinya, Rhea merasa lebih durhaka dari malin kundang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.