35. Sebuah Temu

177 19 0
                                    

Ps: dengerin lagu di mulmed
___

Titan hampir saja terlelap saat ia kembali mendengar pintu apartemen Raka terbuka. Titan berdecak kesal tanpa begerak dari posisinya saat langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya. Hanya beberapa langkah kemudian berhenti tepat di belakangnya.

"Apaan lagi sih, Rak? Ngomel mulu lo, udah kayak emak-emak belok kiri pake sein kanan!" Titan jadi geram sendiri, ia sedang pusing dengan kalimat-kalimat Raka sebelumnya.

Di tempatnya berdiri pria itu berusaha menelan salivanya dengan payah. Luruh sudah egonya detik ini. Pria paruh baya itu merangkak, menyeret langkah, memungut kemungkinan dengan harapan yang tersisa. Sudah lama mereka saling bersembunyi di tempat pelariannya sendiri-sendiri. Sudah saatnya berhenti. Karena sejauh apapun berlari, kenyataan tetaplah keyataan. Hal yang harus dihadapi juga pada akhirnya.

"Titan?" Bergetar Aksa memanggil nama itu. Dan getaran itu rupanya ikut hati Titan rasakan. Suara itu memanggilnya. Sudah lama. Sudah lama sekali rasanya.

Dengan gerakan pelan, Titan bangkit dari tidurnya. Meski dengan susah payah, pemuda itu mencoba berdiri dengan remuk di segala penjuru tubuhnya. Mata Titan menembus tajam mata tua itu. Sedikit rasa benci menutup sepenuhnya nanar sebab terlalu rindu di iris elangnya. Titan menutup rapat-rapat bibirnya mulai detik itu.

Aksa menarik napas panjang, kemudian ia keluarkan dengan pelan. Kelelahan itu tercetak jelas di wajah tuanya. "Sudah waktunya berhenti, Titan."

Titan menggertakkan giginya. Matanya memanas menahan tangis juga amarah yang bertahun-tahun ia pupuk. Namun ia tetap bungkam.

"Sudah waktunya keluar dari tempat pelarian. Kita sudah cukup sesak kalo terus-menerus bersembunyi." Getir itu nampak jelas sebagai sebuah penyesalan yang teramat bagi seorang ayah sepertinya.

"Semua akan tambah rumit kalo kalian terus fokus pada luka kalian sendiri. Di sini semua sakit. Semua sesak. Papa, Mama, kamu, Dione, Phoebe... dan Mimas. Berhenti saling menyalahkan, Titan! Papa mohon." Aksa memejamkan matanya, merasakan sakit yang menghujamnya tanpa jeda. Kalau mereka semua memelihara lukanya sendiri-sendiri, maka Aksa merangkum semuanya. Semua rasa sesak dan sakit itu.

"Biarin mama sama Mimas tenang di sana."

Tepat saat kalimat terakhir Aksa utarakan, Titan menyeret langkah pincangnya menebas jarak antara ia dan ayahnya. Titan tertawa singkat. Getir. Matanya menembus iris Aksa penuh dengan kenencian. Titan menyadari matanya kian memanas, namun ia tak pernah menyangka kalau setitik cairan bening itu luruh dari irisnya. Sia-sia. Usaha Aksa memang sia-sia, sebab bukannya meluluhkan Titan, pria itu malah semakin mendorong Titan jauh dari dirinya. Jarak itu bertambah jauh bahkan semakin menyesakkan.

"Pembunuh!"

Titan menderap pergi, sedang di tempatnya berdiri Aksa seperti kehilangan denyutnya sendiri.

***

"Udah lama banget, ya?" Dione menyapa Mimas seraya mengusap pelan pusara gadis itu. Kemudian Dione meletakkan bucket bungan matahari di sana. "Maaf terlambat," katanya tersenyum getir.

Rhea di samping Dione hanya memerhatikan tiap gerakan Dione. Menatap Dione dengan sorotan sedih.

Sebelumnya Rhea merasa sangat takut sebab Dione mengajaknya ke tempat ini. Rhea kira mereka akan ke sebuah rumah atau kafe. Rhea kira mereka akan saling sapa dan berkenalan juga saling menanyakan kabar seraya meminum coklat panas atau kopi dengan dua sendok gula. Tapi ternyata, Mimas yang akan mereka temui sudah di tempat yang lebih hangat dibandingkan sebuah kedai kopi. Mimas di sana, di dalam dekapan bumi.

"Halo Mimas!" sapa Rhea ceria.

Dione tersenyum lembut, menatap Rhea sekilas kemudian menatap pusara lagi. "Gue bawa cewek, nih. Tapi cantikan elo, kok, Mi." Dione kemudian terkekeh pelan di ujung kalimatnya.

Rhea ikut terkekeh. "Mimas, kalo Dione nyebelin boleh 'kan gue jitak dua kali sehari sehabis makan?"

Dione yang sedari tadi berjongkok mendekatkan telinganya ke arah batu dengan ukiran nama Mimas. Kemudian mengangguk seolah baru saja menyetujui sebuah kalimat. "Kata Mimas jangan dijitak, dipeluk aja."

Rhea ikut berjongkok di sebelah Dione. "Itu mah maunya elo, Bambang!"

Dione tertawa lagi. Lihat, begitu sederhana, bukan? Bersama Rhea ia tak perlu merasa mati rasa saat mengunjungi Mimas. Tak perlu kembali sesak saat menatap pusara itu.

Rhea kemudian mengusap pusara Mimas. Kemudian mengusap bucket bunga matahari di dekat sana. "Yang gue tau Dione itu cuma bisa buat orang kesel sama khawatir, gue nggak tau dia bisa seromantis ini."

"Mimas, boleh gue minta satu hal?" Rhea menghela napas sejenak memberi jeda pada kalimatnya. "Bantu gue agar bisa buat Dione berdamai sama dirinya sendiri."

Dione ikut menghela napas, kali ini lega terlihat jelas di wajahnya. Senyum tipis lagi-lagi terbit di wajah Dione. "Kata Mimas, dia bakal bantu."

___
A/n:
Part ini sebenernya jeda. Di dunia nyata, kita semua pasti perlu jeda. Buat narik napas, menghela napas, atau untuk menangis, mungkin? Atau malah berhenti sejenak. Dan mungkin sudah terlalu banyak atau di sini.

Sesak juga perlu jeda. Rasa sakit juga.

Lari itu nggak salah, tapi sia-sia. Ada waktunya kalian capek. Dan saat itu terjadi, yang harus kalian lakuin cuma satu; menghadapi.

Semoga part ini bisa memberi kalian banyak alasan untuk berhenti berlari. Berhenti bersembunyi. Sudah waktunya berhenti. Ayo, kita putar arah sama-sama, menghadapi masalah yang sebelumnya ngejar kita dari arah belakang.

See u soon.
Di bumi, di tempat bersembunyi bukan lagi objek mainan anak-anak, 17 Februari 2020

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang