Aksa berjongkok di atas rumput sehijau daun segar yang baru saja tumbuh. Tangan ringkihnya terjulur meletakkan buket bunga matahari yang baru saja di belinya di perjalanan menuju peristirahatan terakhir istrinya. Bibirnya tersenyum, hatinya mencium aroma pilu. Matanya kini terfokus pada batu nisan bertorehkan nama istrinya, Geiya Purnama. Setelah merapalkan doa-doa, Aksa mengusap-usap nisan, kemudian berucap serak, "Selamat ulang tahun, Sayang."
Dione berdiri di samping sang ayah, digenggamannya ada buket bunga matahari yang nyaris sama dengan milik sang ayah. Dione menyaksikan kegiatan ayahnya dengan seksama, sedang hatinya terasa diiris kecil-kecil, sangat pedih. Kemudian, matanya beralih menatap buket bunga yang dibawanya, Dione tersenyum kecil memgingat bunga matahari adalah bunga kesukaan ibunya.
Aksa beralih menatap Dione. "Sini, sapa Mama kamu," katanya seraya mengisyaratkan Dione untuk mendekat.
Dione menurut, ikut berjongkok di sebelah ayahnya. Buket bunga di genggamannya sudah ia letakkan di pusara sang ibu, di sebelah buket milik ayahnya. Sejenak, Dione menghela napas. Seulas senyum tercetak sangat tipis. Kemudian, laki-laki itu bersuara tak kalah serak, "Selamat ulang tahun, Ma."
Aksa memandang Dione sekilas, kemudian kembali mentap nisan. Sebelum berucap, Aksa tertawa pelan. "Lihat, anak kamu sudah besar, Gi." Aksa tersenyum lagi, membanyangkan istrinya yang ikut tersenyum memandang wajah Dione saat ini.
Dione tertegun, melihat secara nyata kesetiaan ayahnya. Jika Bumi punya pasangan seromantis Romeo dan Juliet, Dione juga punya Ayah dan Ibunya. Bahkan hingga saat ini, ayahnya itu menolak untuk menikah lagi. Hal itu pula yang membuat Dione harus berpikir jutaan kali untuk meninggalkan ayahnya sendirian. Karena, seperti Dione, Aksa juga hanya punya satu orang yang ia harapkan tak pernah meninggalkannya seperti yang lain.
"Gi, maafkan aku, seperti tahun-tahun kemarin, aku hanya bisa membawa Dione ke sini." Dari tempatnya duduk, suara Aksa terdengar seperti seseorang yang sangat kelelahan.
Dione memilih bungkam, namun jauh di relungnya, Dione kesakitan. Getar pada suara ayahnya seolah bom waktu yang tengah menghitung mundur untuk meledak. Dione tau, Aksa terlalu kuat mempertahankan air matanya. Karena seperti yang Dione amati dari tahun ke tahun, tak pernah ia lihat seharipun ayahnya menangis. Tak pernah, dan mungkin tak akan pernah. Semua orang tau, seorang ayah tak pernah mau terlihat lemah di mata anak-anaknya.
Kemudian, Aksa beranjak berdiri. Tangannya menepuk-nepuk celana hitamnya, membersihkan debu yang menempel di sana. Lalu pria paruh baya itu menatap Dione yang masih berjongkok memandang hampa nisan sang ibu. "Mau mengunjungi Mimas, Dione?"
Dione tercenung di tempatnya. Jiwanya seolah meneriaki raganya agar bergerak dari tempatnya. Namun, seperti saraf yang dipotong paksa, Dione hanya diam, pikirannya kacau. Dia ingin berteriak pada Bumi yang dengan tenangnya mendekap orang-orang yang ia cintai. Tapi Dione tak punya kuasa atas itu, yang bisa ia lakukan hanya memupuk rasa bencinya terhadap planet ini.
"Dione?" Aksa memanggil Dione suara paling khawatir, yang pernah Dione dengar.
Dengan gerakan pelan, Dione mendongak menatap sang ayah. "Ya?"
"Kamu mau mengunjungi Mimas sekarang?" Aksa mengulang pertanyaannya, seakan Dione tak mendengar kalimat serupa sebelumnya.
Dione seketika berdiri, membuang pandangan dari Aksa. "Pulang saja," ujar Dione setelah susah payah ia menelan ludahnya.
Aksa tersenyum getir, ia tau Dione enggan membuka luka lama untuk saat ini. Sebabnya, mengunjungi makam ibunya saja Dione hampir kehilangan denyut, apalagi mengunjungi Mimas. "Yasudah, kita pulang sekarang."
***
Sebelum keluar kelas, Rhea menahan Samuel yang hendak beranjak dari duduknya. Gadis itu menyengir seraya menarik-narik ujung lengan seragam Samuel. Samuel melirik teman-temannya yang berlari meninggalkan kelas, kemudian helaan napas terdengar saat matanya menangkap sosok gadis berambut cokelat di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.