Rhea duduk di bibir ranjang dengan mata yang menyorot hampa jendela kamarnya. Pakaian serba hitam membalut tubuh yang sepertinya kehilangan beberapa kilo berat badanya, terlihat dari wajahnya yang semakin tirus.
Sudah dua hari gadis itu tidak makan apapun, hanya minum segelas air sewaktu bangun dari tidur. Kemudian Rhea berpikir dalam diamnya, jika ini adalah mimpi buruk, ia tetap tak ingin bangun dari tidurnya. Biar sekalian saja mimpi buruk itu menghancurkannya. Lalu mati. Andai hidup sesederhana itu.
Sinar matahari masuk dari cela jendela yang terbuka separuh, hal yang membuat mata gadis itu bersinar terpapar sinar matahari. Anehnya, gadis itu tetap terlihat cantik dalam keadaan apapun. Terlebih iris cokelat itu.
Kemarin, pemakaman terasa seperti mimpi. Selama hidupnya, hal yang paling ia benci adalah menghantarkan orang yang ia cintai ke peristirahatan terakhirnya, dan itu baru saja ia rasakan kemarin. Sekarang, ia jadi paham apa yang Dione rasakan. Rhea sekarang mengerti mengapa laki-laki itu sangat membenci bumi.
Rhea menatap ke sekeliling kamarnya sebentar. Semalam ia sudah mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Dia ingin pindah, dan entah ke mana. Ke mana saja, asal jangan Jakarta dan Bandung. Kalau bisa, ia ingin pindah planet saja sekalian.
Sorot pandangan Rhea terhenti pada ponselnya yang terus berdering di atas nakas. Dering telepon terus berbunyi dari kemarin sampai detik ini, menampilkan nama Dione, Titan, dan sederet orang-orang yang pernah ia kenal. Panggilan-panggilan itu tentu saja berakhir tanpa Rhea jawab satupun.
Rhea kemudian mengambil ponselnya dan menatap layarnya tanpa minat. Lagi-lagi Dione menelponnya. Laki-laki itu bahkan mengirim ratusan pesan singkat, terhitung saat Rhea memutuskan untuk memeninggalkan Sarturnus.
Rhea sudah lelah menangis, hal yang membuatnya terlihat seperti pecundang di hadapan manusia-manusia lainnya. Jika kejutan adalah hal yang paling ditungggu-tunggu tiap orang, Rhea bahkan memilih untuk membencinya. Rhea... terlalu bosan juga cukup lelah dengan kejutan-kejutan di hidupnya. Karena bagi Rhea, kejutan hanyalah hal-hal yang ia benci dan mimpi buruk.
Setelah memilih untuk mematikan ponselnya. Tepat saat ponselnya berhasil mati, suara ketukan pintu terdengar. Kekalahan itu menjadi kian sempurna saat seseorang tanpa sadar sudah masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu tampak mengelap sudut matanya yang berair. Di genggaman wanita itu, sebuah amplop pos menarik perhatian Rhea.
"Rhea, Mama kamu titip ini," ucap Wanita paruh baya itu dengan sorot mata iba. Wanita itu adalah kakak perempuan ibunya yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.
Tangan Rhea bergerak mengambil amplop tersebut. Matanya menyorot kosong. "Ini apa?"
"Papa kamu."
Rhea termangu di tempatnya. Matanya tiba-tiba berair. Cairan bening yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang menghujam hatinya. Untuk ke sekian kalinya, satu kata itu berhasil membuatnya merasa sesak kembali. Papa.
Perempuan itu membiarkan air matanya mengering sendiri. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan gontai melewati wanita paruh baya itu. Rhea melangkah menuju teras rumahnya dan duduk di salah satu kursi. Amplop berwarna cokelat itu ia buka dengan perlahan. Rhea mengeluarkan semua surat dan sebuah kaos kaki bayi berwana merah muda yang berbahan dasar rajut dari dalam sana.
Ada tiga amplop yang ikut ia keluarkan dari sana, satu di antaranya berisikan surat kelahirannya.
Rhea membuka satu amplop yang lain, sebuah surat dan foto hitam-putih berhasil menyorot seluruh perhatiannya. Tangannya bergerak, membuka lipatan surat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Fiksi RemajaKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.