24. Ceritakan Sesuatu

200 26 0
                                    

Dione mengernyit. Matanya meneliti tiap gestur gadis yang duduk di sampingnya. Bel pulang sudah berbunyi dua puluh menit yang lalu, namun Dione seperti enggan beranjak dari bangku taman belakang sekolah, hanya Rhea yang sedari tadi menggigiti kuku jari telunjuknya, resah.

Dione memiringkan kepalanya, rautnya sudah kembali tak berekspresi. Bertanya pelan. "Kenapa?"

"Hah?" Meski tak kentara, dapat Dione lihat gadis itu sedikit terkejut. Lalu, Rhea tersenyum kecil, dalam hati gadis itu menyumpahi diri sendiri. "Enggak apa-apa." Rhea menyahut seraya membuang muka ke arah lain.

Dione menyenderkan punggungnya di sandaran bangku. Menghela napas pelan. "Lo kepikiran kata-kata gue pagi tadi, ya?"

Rhea sontak beralih ke Dione. Gadis itu menyumpahi dirinya lagi dalam hati, kenapa juga ia harus terlihat tegang seperti ini? Rhea akhirnya menghela napas panjang. "Andai gue punya penyakit pikun," gumamnya tak jelas. Dione tertawa pelan di sampingnya.

Rhea berdecak kesal, matanya mendelik tajam, seolah siap memukuli Dione sekarang juga. "Apanya yang lucu?!"

Dione menatap Rhea. Mata mereka saling bersibobrok.

"Lo," jawab Dione tenang.

"Kok gue?" Rhea menabok lengan Dione, tak terima dengan jawaban dari laki-laki itu.

"Tipu aja otak lo." Dione berujar pelan, rautnya tampak tenang seperti biasa.

"Maksudnya?"

"Kalo kata-kata gue pagi tadi buat lo nggak nyaman, lo bisa pura-pura nggak inget aja." Senyum tipis di ujung katanya, membuat Rhe berhasrat memukul kepala Dione dengan batu besar di bawah pohon jati di depan mereka. Seandainya ia sekuat itu.

Rhea mendesah berat. "Pura-pura nggak inget gimana? Gue nggak bisa, Yon, kecuali lo tega nimpuk pala gue pake batu besar itu...." Rhea menunjuk batu besar di bawah pohon jati, "... sampe gue geger otak, terus amnesia," tukasnya.

Bibir Dione berkedut, menahan tawa. Tangannya terjulur mengacak pelan rambut Rhea dengan gemas. Gilanya, Dione selalu pintar dalam hal menyembunyikan kesakitannya di balik raut tenangnya. "Jangan dipikirin, nggak penting juga."

Rhea menabok lengan Dione sekali lagi. "Nggak penting pala lo bundar! Gue dengernya aja hampir serangan jantung."

Dione beranjak berdiri, sebenarnya sesak itu kembali lagi. Namun, dengan cermat Dione menutupnya di balik raut tenang. Dione menunduk menatap Rhea, gadis itu melemparkan tatapan kesal untuk Dione. Dione tersenyum tipis, manis. Kemudian, laki-laki bermata segelap jelaga itu menjulurkan tangannya ke arah Rhea. "Ayo, lo harus liat sesuatu di rumah gue," ujar Dione, misterius.

Rhea menerima uluran tangan Dione, gadis itu kini berdiri di hadapan Dione. Raut gadis itu kembali bingung. "Apa? Jangan aneh-aneh. Seengaknya kalo hal itu memang aneh, ya lo harus kasih tau gue dulu, supaya gue nggak senam jantung mulu."

Dione mengidikkan bahu. "Tapi gue yakin lo bakal suka." Kemudian laki-laki itu melangkah mendahului Rhea, yang lagi-lagi harus dibuat bingung.

***

Titan menghempaskan punggungnya di sofa ruang kerja Raka. Pemuda bermata setajam elang itu terlihat sangat kelelahan. Sedang di ujung sana, di ambang pintu yang baru saja terbuka, Raka melangkah lantas duduk di sebelah Titan.

Titan melirik sekilas Raka dengan malas, pemuda itu lantas memejamkan matanya. Raka menaikan alis, ia penasaran, kali ini apa lagi yang membuat seorang Titan uring-uringan.

"Kenapa lagi lo, Onta?" Raka bersedekap, punggungnya menempel di sandaran sofa, matanya meneliti langit-langit ruangan. Ia juga sangat lelah.

Enggan membuka mata, Titan menyahut pelan, "Gue ketahuan selingkuh." Meski Titan mengucapkannya dengan nada serius, Raka malah tertawa pelan di tempatnya duduk. "Serius gue," ujar Titan datar.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang