33. Bulan Lainnya

175 15 4
                                    

Dione menyeret langkahnya dengan payah. Wajahnya sudah lebam dimana-mana, namun itu tak sebanding dengan pertemuannya dengan Titan tadi. Jika bisa memilih, ia ingin Titan lenyap saja dari muka bumi. Dan mungkin itu hal serupa yang Titan minta pada semesta. Karena bagi mereka, mati adalah harga mutlak bagi jiwa Mimas.

Dione masuk ke rumah lewat pintu samping, takut ayahnya tau ia pulang dengan penuh luka. Bukan. Dione bukannya takut dimarahi, Dione hanya malas mendengar ayahnya ceramah lebih panjang dari biasanya. Malas sekali rasanya walau hanya mengeluarkan satu katapun.

Usahanya tak berhasil rupanya. Tepat saat kakinya menaiki tangga pertama, suara ayahnya terdengar dari arah belakang.

"Dione, kenapa kamu? Kok luka-luka gitu?" Meski suaranya tak sekeras biasanya, Dione tetap saja berdecak kesal seperti biasa.

Aksa lalu menarik lengan Dione, yang membuat Dione dengan cepat menepisnya kasar.

"Nggak apa-apa," kata Dione datar, lantas kembali melangkah menuju kamarnya.

Di tempatnya berdiri, Aksa hanya bisa memijat pangkal hidungnya seraya menghela napas panjang. Usahanya untuk bersikap lebih lunak ke Dione sama sekali tak berhasil. Dan mungkin tak mungkin berhasil jika anaknya itu belum bisa berdamai dengan diri sendiri.

***

Rhea berdecak sangat kesal melihat Titan yang kini duduk di teras kost'an nya. Yang membuat Rhea kesal adalah, pemuda itu masih bisa menyengir lebar ke arahnya saat wajahnya dipenuhi luka dan berdarah.

Rhea meletakkan kotak P3K di atas meja dengan keras. Gadis itu duduk di sebelah Titan. Mengamati wajah pemuda itu, sesekali berdecak dan mengomel kesal.

"Ngapain sih, sampe luka-luka gini? Ikut tawuran anak SMP apa lo?" Rhea membuka kotak yang tadi ia bawa, lalu mengeluarkan alkohol dan kapas. "Heran banget gue! Udah tua juga, masih aja suka berantem."

Sementara Rhea mengobati Titan, pemuda itu tetap saja menyengir lebar, sesekali tertawa geli saat gadis itu mencebikkan bibirnya. Seperti nostalgia rasanya. Rasanya seperti Titan ditarik kembali ke masa dimana Rhea mengobatinya waktu dipalak preman pasar sewaktu di Bandung. Ah, Titan jadi rindu Bandung. Tempat di mana semuanya terasa lebih mudah dan adem.

"Lo berantem sama siapa lagi kali ini? Dipalak lagi, lo?" Rhea menekan kapas yang kini telah dibaluri obat merah ke dahi Titan. "Nggak bisa apa lo kasih aja dua ribu gitu? Itung-itung sedekah, dari pada muka lo ancur gini, kan?"

Titan tertawa geli kala Rhea lagi-lagi menekan lukanya dengan kapas. Seharunya ia meringis sebab perih yang ia rasakan, namun melihat tiap ekspresi Rhea rasa sakitnya hilang begitu saja. Satu persen sakit, sembilan puluh sembilan persen sisanya adalah cinta, seperti yang sering dikatakan Titan.

"Udah gue kasih kok seribu," ujar Titan jenaka.

"Terus kenapa lo jadi gini?"

"Gue minta kembalian lima ratus perak." Titan tertawa renyah, sementara Rhea sudah menjitak kepala Titan detik itu juga.

"Bisa-bisanya lo becanda sekarang?!"

Titan diam sebentar, menatap Rhea yang kini melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Sejenak Titan membungkam, jatuh ke iris cokelat itu sedalam-dalamnya. Seperti bintang yang menunggu detik-detik terakhirnya untuk mati karena ledakannya sendiri, harapan itu rasanya telah dipatahkan sehancur-hancurnya. Sebab Titan tau, binar mata Rhea untuk Dione lebih tulus dan cemerlang dibandingkan saat bertemu dengan matanya.

"Udah gue kasih, Re." Titan masih menatap Rhea, yang membuat gadis itu tertegun dan menghentikan aktivitasnya mengobati Titan.

"Udah gue kasih semuanya. Dulu." Mata Titan seolah memanas, hatinya dipaksa kembali hancur. "Tapi dia nggak tau diri, Re. Dia malah mau ambil lo dari gue."

Deg!

Rhea menahan napasnya. Rasanya sesak sekali. Pikirannya kini hanya tertuju pada Dione. Dan kekhawatirannya semakin menjadi kala Titan berdiri dari duduknya. Pemuda itu menurunkan tangan Rhea dari dahinya dengan gerakan pelan. Titan menunduk sebentar, menatap ibu jarinya yang mengusap punggung tangan Rhea dengan lembut. Titan hampir kehilangan semua harapannya di tangan itu. Dan sekarang rasanya semakin hancur saja.

Titan menaikkan pandangannya. Matanya kini sudah memerah menahan cairan bening yang rasanya ingin ia tumpahkan sampai tak tersisa barang setetespun. Di hidupnya, ia hampir tak punya kesempatan untuk bersandar dan menangis di bahu seseorang. Hampir.

Dan tepat saat matanya kembali bertemu dengan iris cokelat itu, setitik air jatuh dari mata elangnya. Tanpa aba-aba.

"Gue bukan pembunuh, Re."

***

"Dione, gue capek banget." Gadis cantik dengan rambut panjang dan berponi itu memeluk Dione dengan erat, seakan pelukan itu adalah hal terakhir yang ia punya. Seolah hal itu adalah satu-satunya yang tersisa. "Gini aja lima menit. Gue lebih suka dipeluk yang dingin-dingin daripada Titan." Tawa renyah seolah menjadi pelengkap kalimatnya.

Dione menarik ujung bibirnya ke atas. Merangkum gadis itu dengan sepasang tangan yang mengikat lembut. Dagunya ia letakkan di puncak kepala gadis itu. Hangat sekali rasanya. Persis seperti terakhir kali Dione menghirup coklat panas buatan ibunya.

"Kalo aja kita nggak ketemu papa, mungkin sekarang kita nggak kayak sekarang." Gadis itu mendongak menatap Dione dari jarak yang sangat dekat. 

Dione tersenyum lagi, menatap gadis itu sangat lekat. Dione kemudian mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu, mengecup lembut dahi gadis itu pelan. "Kita bakalan baik-baik aja. Nggak perlu khawatir, gue di sini."

Gadis itu ikut tersenyum. "Yon, papa tu sebenernya baik." Dione merotasi bola matanya mendengar perkataan gadis itu.

"Yon, serius tau!" Gadis itu mencebikkan bibirnya lucu, hal yang selalu Dione suka tiap kali gadis itu sebal. "Lo harus janji sama gue, lo nggak boleh ninggalin papa apapun keadaannya."

Dione mengangguk sekali. "Iya, Mimas," sahutnya lembut.

Mimas kemudian tersenyum tipis. Mata mereka kembali bertemu. Kemudian, dengan detik yang terus bergulir, perlahan senyum gadis itu memudar. Semakin memudar, sampai akhirnya hilang dalam kegelapan.

Dione terbangun dari tidurnya, dari mimpinya, dan dari memori yang bergerak muncul menikamnya pelan-pelan. Perlahan sampai setitik hujan jatuh dari mata hitamnya. Rasa sakit itu tetap di sana, di urutan pertama dan selanjutnya sesak.

Gadis cantik di mimpinya itu Mimas. Mimas-nya.

___
A/n:
Halooooo! Apa kabar?
Udah berapa kali jatuh sampai detik ini?
Nggak pa-pa, kita sama-sama bangkit lagi, ya.
Katanya dunia nggak kekurangan orang baik, tapi kamu jangan jadi jahat juga.

Buat kalian yang mungkin sedang berlari dan cari pelarian, semoga kalian tetap kembali pada satu rumah. Semoga SATURNUS jadi tempat yang nyaman buat berbagi sesak dan mengobati kita. Karena jujur, setiap nulis cerita ini rasanya kayak jadi bulan, memutari Bumi berkali-kali. Sesak berkali-kali. Lari sekuat-kuatnya, tapi berakhir mengulang siklus. Bukan stuck, lebih tepatnya memperbaiki hal yang mungkin diperjalanan sebelumnya nggak sengaja terlewatkan.

Karena, mungkin kita berjalan di tempat yang sama, tapi belum tentu kita ngelewatin hal yang sama, belum tentu kita ketemu orang yang sama, belum tentu juga kita neduh di halte yang sama.

Jadi jangan merasa stuck, ya. Ayo, kita merangkak sama-sama. Berjalan sama-sama. Berlari sama-sama. Dan saling mengobati satu-sama lain.

See u.

Ps: Mimas adalah salah satu bulannya saturnus juga. So say hay.

Bumi, 1 Februari 2020
With love,
Nebulass

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang