Lo, gue, kita. Kita manusia, Yon. Kita mengecewakan.
Sebuah kalimat melayang-layang di antara sudut langit-langit kamarnya. Kalimat itu memenuhi seisi kamar juga otaknya. Dione tak mengerti dengan hatinya saat ini. Sejak Rhea meninggalkannya di perpus tadi siang, perasaan aneh menggerogoti pikirannya. Mungkinkah Rhea benar? Kalau iya, itu artinya ia seperti mengumpati dirinya sendiri. Ia berpikiran bahwa semua manusia itu mengecewakan, tapi ia tak sadar siapa dia sebenarnya. Dia manusia. Dione Aleandra adalah manusia. Dan mungkin Rhea benar, semua manusia mengecewakan, termasuk Dione tentunya.
Persetan dengan pikiran-pikiran tentang Rhea, Dione memejamkan matanya dengan paksa. Meski yang ia temukan tetap saja raut menyedihkan Rhea dalam pejamnya, ia tetap saja memaksakan dirinya untuk mati suri sebentar.
"Aarrgg!"
Bersama erangan itu, matanya terbuka sempurna. Dione sontak terduduk di kasurnya. Dione kesal bukan main. Kenapa dia harus dilahirkan dengan rasa tidak enak hati seperti ini?
Dione mengerang kesal. Meski dingin dan terkesan cuek, seorang Dione tetap saja selalu kepikiran dengan hal-hal yang menyangkut orang lain, terlebih jika ia yang memiliki kesalahan.
Tok... Tok... Tok...
Sebuah ketukan pintu menyeretnya kembali pada kenyataan yang tak seindah khayalan anak umur lima tahun. Dione bangkit, lantas membuka pintu.
"Mas Dione, makan dulu." Bi Mina berdiri di hadapan Dione, nampan berisi makan dan minuman dibawanya.
Dione tersenyum kecil, lantas mengambil alih nampan tersebut dari Bi Mina. "Makasih, Bi," kata Dione yang membuat Bi Mina tersenyum tipis.
"Abis makan, Mas Dione harus pergi ke tempat kursus, ya? Mbok ya, Mas Dione itu harus nurut sama Tuan Aksa sekali-sekali," ujar Bi Mina menasehati Dione.
Masih dengan nampan berisi makanan di tangannya, Dione tersenyum lebih lebar. "Boleh, deh, kalo cuma sekali-sekali mah."
Bi Mina mencubit pelan lengan sebelah Dione, membuat cowok itu meringis kecil, "Jangan dicubit, Bi, nanti pori-porinya nangis," Dione berucap jenaka.
Bi Mina tertawa pelan. Dione memang begitu sejak kecil. Dia senang sekali menggoda Bi Mina. Terkadang, wanita paruh baya itu rindu dengan Dione kecil yang selalu mengekorinya saat memasak dengan mendiang ibunya Dione.
Dulu, anak itu adalah anak yang manis dan juga sedikit nakal. Dione kecil adalah pribadi yang ceria dan penyayang. Namun, sejak sang ibu meninggal, entah kenapa sikap dan kehidupan Dione berbanding seratus delapanpuluh derajat. Semenjak sang ibu meninggal, Aksa memaksanya mengikuti belasan kursus dan bimbel. Sejak SMP kelas 1, tiada hari tanpa pulang malam karena kursus.
Awalnya Dione nurut-nurut saja. Tapi, lama-kelamaan, ia merasa jika ia tak punya kendali atas hidupnya. Ia bagai boneka, dan ayahnya adalah dalang yang memainkan boneka dengan sesuka hati. Dione tau, dia tak bisa terus-menerus terjebak di pulau penghakiman seperti ini. Dia tak bisa jadi orang yang terlalu berambisi. Ia tak bisa terus terpaku pada ambisi ayahnya.
Dan pada akhirnya, bagai gunung merapi yang sudah semakin muak dengan desakkan lava dan magma dalam perutnya, Dione meninggalkan dunia ciptaan ayahnya itu. Membolos Les, kursus, bimbel atau apalah namanya itu, yang Dione tau, ia sama sekali tak menyukainya. Dione mulai sering bolos les dan sering pulang larut malam tanpa alasan yang jelas. Padahal, ia tak kemana-mana. Padahal, ia selalu bersembunyi di planetnya sendiri. Saturnus.
"Mas Dione itu, loh, mbok ya nurut-nurut sama bapak. Kalo bukan sama bapak, siapa lagi yang mau mengurus Mas Dione?" Bi Mina berujar dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURNUS
Teen FictionKarena bersembunyi di Saturnus lebih aman daripada terjebak di pulau penghakiman seperti Bumi.