31. Patah Ke-sekian

229 21 6
                                    

Sepulang dari rumah Dione, Rhea memilih untuk bekerja hari ini. Awalnya Dione melarangnya dan menyuruh Rhea agar beristirahat saja di kosannya. Sebenarnya Dione khawatir dengan keadaan gadis itu, namun Rhea tetaplah Rhea, gadis itu tetap saja keras kepala. Dan kalau sudah berurusan dengan keinginan Rhea, Dione memilih mengalah saja, dan akan menemui gadis itu setelah selesai bekerja sebagai gantinya. Awalnya Rhea ragu dengan kesepakatan itu, ia takut kalau-kalau Dione bertemu Titan di tempatnya bekerja. Dan lagi, seingat Rhea, Dione tak pernah suka saat nama Titan disebutkan saat mereka sedang berbincang. Mendengar namanya saja Dione tak suka, apalagi jika mereka bertemu? Rhea bahkan tak bisa membayangkannya.

"Gue ilang empat hari, tapi lo nggak ada niatan buat nelpon gue, gitu?" Titan bertanya dengan nada kesal yang dibuat-buat, sedang di tempatnya berpijak Rhea seakan ditarik paksa kr realitas.

"Hah?"

Titan berdecak kesal, kakinya selangkah mendekati kasir. "Melamunin apa, sih?"

Rhea menyengir ke arah Titan, sebenarnya terlihat seperti meringis. "Kenapa?"

Titan meletakkan nampan kosong ke atas meja kasir, kemudian menopang tangannya di atas meja. "Lo nggak khawatir apa sama gue? Empat hari loh itu."

"Empat hari apaan?" Bagus! Rhea terlihat seperti orang tersesat sekarang, wajah bingungnya seakan memeperjelas kalau ia sedang mencari arah melangkah. Pikirannya benar-benar kacau sekarang.

"Gue mau ngambek kalau gitu ceritanya!" Titan menekuk mukanya, sedang Rhea tertawa garing. "Apaan sih, Tan?"

"Lo nggak kangen apa sama gue?" Titan merengek seolah ia adalah anak kecil yang lolipopnya dirampas teman nakalnya. Titan menghentak-hentak kecil. "Lo nggak adil, Rhea!" tambahnya.

Rhea mengernyit tak suka, matanya mengisyaratkan agar Titan menghentikan aksi bocahnya itu. "Ih, malu tau diliatin orang-orang!" Rhea berkata pelan, namun menekankan tiap kata pada kalimatnya. Gadis itu beralih ke arah tamu-tamu yang menjadikan mereka titik perhatian. Rhea meringis maklum, sesekali sedikit menundukkan kepalanya pada pengunjung restoran.

"Rhea, gue ngomong serius tau." Meski sudah diperingatkan, tetap saja Titan tak mau dengar. Bandel.

"Udah ah, Tan, nggak penting banget," kata Rhea kesal sendiri.

Titan tiba-tiba mengernyit, raut wajahnya seketika berubah serius. Mata Titan menatap lurus-lurus wajah Rhea dari samping, sebab gadis itu tak melihat ke arahnya, dan mungkin memang tak akan pernah melihat seorang Titan Antonio. Menyedihkan. Titan akhirnya tersadar akan satu hal, empat hari tak bertemu Rhea, Titan merasa gadis itu berubah drastis. Rhea tetap galak dan sinis, namun kali ini Titan berfirasat lain. Titan mendengus geli, sedang bibirnya mengukir senyum miring.

"Dione?" Titan bertanya pelan, sedang nada bicaranya sontak membuat Rhea menoleh ke arahnya.

Rhea membeku, matanya bersibobrok dengan iris hitam mengkilat milik Titan. Rhea mungkin sudah biasa mendengar nama itu, namun suara Titan saat menyebut nama Dione, membuat wajahnya seketika pias. Rhea mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sedang dalam hati harap-harap cemas, semoga Titan tak mengucapkan kalimat mengejutkan lainnya. Dan sejujurnya, Rhea sudah lelah terkejut.

Seringai di wajah Titan makin melebar, seakan ingin memberitahukan pada dunia, kalau ia sudah lelah berpura-pura. Pura-pura tersenyum, pura-pura tertawa, pura-pura mengalah jika ia terus disalahkan. Pura-pura. Pura-pura. Pura-pura. Ah! Titan ingin sekali meneriaki semesta, ia ingin berteriak dan bertanya; sebenarnya dia sedang berada di mana? Di panggung teater, atau di depan lensa kamera? Titan mungkin tampan, namun ia sama sekali tak ingin jadi aktor. Sama sekali tak ingin. Tolong! Siapa saja, bantu Titan meneriaki semesta.

"Gue emang selalu kalah kalau dibandingin sama Dione," Titan berkata lirih, dan ruangan mendadak hening. Kebisingan sendok yang bergesekan dengan piring dan garpu seolah desisan lebah dari kejauhan. Titan mulai sesak, sedang Rhea mencari-cari denyutnya.

Titan menunduk sebentar, senyum kecil terukir miris di wajahnya. "Lo nggak adil, Re. Padahal, yang ketemu lo duluan itu gue, bukan dia," ujar Titan seraya mengangkat kepalanya dengan gerakan pelan.

Rhea masih bungkam, berharap ada pelanggan yang menghampiri meja kasir. Namun sialnya, semesta seakan memihak pada Titan kali ini. Rhea menelan salivanya dengan payah, matanya memerhatikan yang bergerak lebih mendekat ke arahnya.

Mata Titan berkilat, setajam elang yang sedang menetapkan target buruannya. "Dari dulu... dari dulu, apa gue nggak pernah punya kesempatan? Kita nggak punya kesempatan, bahkan nol koma satu persen pun?"

"Tan, kita lagi kerja," Rhea mencicit, takut terlihat jelas di wajahnya.

Titan berdecak kesal. "Kenapa lo selalu menghindar, Rhea?"

"Tan, jangan gini, tolong," Rhea berucap serak saat wajah Titan tepat di depan matanya.

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue!" Titan berkata pelan, namun suaranya menyiratkan sinyal-sinyal kekecewaan.

"Tan--"

"Iya atau enggak?"

"Tan, gue---"

"Iya. atau. enggak."

Rhea memjamkan matanya. Kalau saja detik ini restoran sepi, mungkin Rhea sudah berteriak kencang ke wajah Titan, atau kalau tidak, ia pulang saja ke kosannya. Kalau bisa, Rhea ingin berguru dengan alien ganteng di drama korea yang pernah ditontonnya, memintanya agar mengajarkan dirinya teleportasi ke gunung himalaya sekarang juga. Kalau tidak, ia ingin ditarik ke dalam ufo dengan sinar berwarna hijau, seperti pada kartun kesukaannya waktu umur lima tahun. Apa saja, asal Titan lenyap dari pandangannya.

"Iya atau enggak?" Titan bertanya lagi, mendesak Rhea agar segera menjawabnya. "Gila, ya? jawab gituan aja susah banget." Titan berdecak lagi di ujung kalimatnya.

"Enggak." Rhea semakin mengeratkan pejamannya saat sebuah kata ia suarakan. Hanya satu kata. Hanya satu kata, namun sukses membuat hati Titan remuk redam. Dan lagi-lagi, ia selalu kalah dari Dione.

Titan mundur satu langkah ke belakang, sedang senyum kecil menghiasi rautnya yang terkurung nestapa. Titan menyumpahi diri sendiri dalam hati, bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah tau jawabannya tidak, masih saja menantang kenyataan.

Rhea mengernyit, kelopak matanya membuka takut-takut. Wajah Titan membuatnya merasa bersalah, Rhea merasa dirinya manusia paling jahat di muka Bumi. "Maaf, Tan. Maaf. Maaf. Maaf."

"Ulangi--"

"Enggak, Tan, enggak." Rhea menggeleng pelan, tanpa tau kalau pengulangan kata penolakan itu benar-benar memecahkan harapan-harapan baru yang diam-diam Titan kumpulkan di dalam toples tak kasat mata di hatinya. Titan sudah kalah. Dan semesta seolah meneriakinya berkali-kali, sudah Titan, pulang saja! Menghilang saja kalau bisa!

Alih-alih bersedih karena remuk luar dalam, Titan malah kembali tersenyum. Beruntung hati Titan tahan banting dan bukan made in China.

"Karna gue pembunuh?" Titan bebisik lirih, sedang Rhea mematung untuk kedua kalinya.

Titan menggeleng pelan, tak habis pikir karena ia berani menyuarakan kalimat terlarang itu baginya. "Coba tanya sama Dione, apa yang udah dia lakuin ke Mimas." Kemudian Titan menderap ke luar dari restoran, meninggalkan Rhea yang menatap punggung Titan dengan ribuan tanda tanya.

___
Heiiii! Long time no see ya.
Kangen gaaa??? Ehehe.
Okelah see u.

Bumi, 14 Januari 2020.

Ps: dengerin lagunya ya di mulmed. Lagunya Titan bener.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang