Chapter 5

18K 668 12
                                    

Dira sibuk membereskan beberapa berkas yang harus ia berikan pada Daffa. Tangannya terlihat lincah dan sesekali mengetik keyboard laptop. Disela kesibukannya, Daffa datang memberikan minyak angin setelah itu pergi.

Dira sempat bingung menatap Bos mudanya itu. Minyak angin? Untuk apa? Itu pertanyaan yang ada di benak Dira.

"Berjaga-jaga, saya tidak mau kamu masuk angin karena kelamaan duduk dilantai. Bukan maksud perhatian, saya cuma takut karena hukuman itu kamu bisa sakit. Untuk tadi, maaf karena saya tidak bisa berlaku adil, membiarkan Rena pergi begitu saja sementara kamu menerima hukumannya. Saya tahu kamu kesal, untuk itu sekali lagi saya minta maaf"

Sudut bibir Dira tertarik membentuk sebuah senyuman.

Antara senang dan bingung. Senang karena kalimat sederhana yang pria itu tulis dalam kertas kecil mampu membuatnya merasakan kehangatan dan bingung karena entah apa yang membuat Daffa tidak bisa memperlakukan dirinya secara adil.

Apa karena Rena sekretatisnya?

Dira menggeleng kuat dan kembali melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Sebelum pergi, Dira menyimpan surat yang Daffa berikan kedalam laci.

Dira berjalan kearah Wenda yang juga terlihat sibuk. Sesekali tangan Dira mengganggu Wenda.

"Gue sibuk Dir, lo mah." Wenda mengerucutkan bibirnya, tentu hal itu membuat Dira tertawa dan kembali melakukan aksinya.

"Aishhh Dira." Baru saja Wenda hendak melayangkan tangannya kekepala Dira, Daffa tiba-tiba datang dan berdehem.

Dira berbalik, ia menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Deretan gigi yang rapi terlihat dari tawa kecil yang Dira tunjukkan. Ia terkekeh.

Daffa sebenarnya malu untuk mengajak Dira keruangannya secara langsung, tapi karena ada hal penting yang harus Daffa sampaikan mau tidak mau rasa malu itu harus ia kubur hidup-hidup. Dira menautkan kedua alisnya seakan bertanya apa alasan Daffa datang kemeja kerja Wenda, lagi.

Daffa menunduk dan kembali berdeham. Tangannya perlahan menggenggam pergelangan tangan Dira. Kaget tentu saja, Seluruh karyawan yang melihat itu tersenyum dan sebagian pula merasa aneh. Apakah itu AlDaffa Damarion? Seorang CEO yang sebelumnya tidak pernah menemui seorang karyawan secara langsung.

Tapi

Kenyataan yang nampak sekarang adalah, Daffa tengah menggenggam tangan Dira dan membawanya masuk kedalam ruangan pribadi. Sebuah hal yang begitu langka.

Senyum terukir diwajah Dira, ia senang saat tangan dingin Daffa menyentuh pergelangannya. Sepertinya ekspektasi yang ia anggap mustahil, akan menjadi realita.

"Duduk." Dira mengangguk patuh dan duduk didepan Daffa. Mereka sekarang berada di ruangan pribadi.

"Sa..Saya.." Dira menganga. Menunggu adalah hal yang paling ia benci dan sekarang Daffa membuatnya menunggu.

"Saya kenapa Bos?" Pertanyaan Dira membuat Daffa terdiam.

"Saya akan menjelaskan apa alasan yang membuat saya memperlakukan kamu seperti tadi dan..."

"Aelah Bos, masalah tadi? Udahlah lupain aja. Cieee Bos khawatir." Wajah Daffa kembali datar. Dira baru saja memotong ucapannya.

"Biasakan jangan memotong ucapan seseorang Nadira"

"Ah, baiklah pak." Dira terdiam.

"Saya minta tolong sama kamu." Daffa perlahan menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan kasar.

Dira melihat wajah Daffa dengan intens, tidak seperti biasanya. Wajah Daffa terlihat gelisah tak beraturan.

Perlahan tangan Dira menyentuh pundak Daffa. Tentu hal itu membuat Daffa kaget. Perlakuan Dira diluar yang seharusnya.

"Bapak ada masalah?" Tanya Dira.

"Saya minta tolong, jauhkan saya dari Rena." Tangan Dira yang semula menyentuh bahu Daffa terlepas.

Dira tidak mengerti dengan apa yang barusan Daffa katakan. Dira bukan ahlinya dalam menjauhkan seseorang, itu adalah perbuatan yang tidak benar menurutnya. Perlu alasan yang kuat dulu untuk melakukannya.

Melihat keinginan Daffa yang begitu serius, Dira akhirnya berani bertanya.

"Alasannya apa?"

"Dia wanita yang orang tua saya pilih, maksud saya Rena adalah calon Istri yang ibu saya pilih. Tapi.... Entah kenapa itu membuat saya tidak nyaman, mungkin karena Rena bukan gadis yang baik."

Tubuh Dira mendadak lemas, bukankah Ia memiliki perasaan pada Bosnya itu. Pengakuan Daffa barusan Membuat Dira seketika Down.

Kenapa gadis seperti Rena harus terlahir didunia ini dan bertemu dengan Daffa. Andaikan gadis itu tidak ada, mungkin Dira bisa lebih dulu menunjukan dirinya didepan ibu Daffa. Sekiranya itu bisa membuat Dira dipilih sebagai calon menantu. Apa yang tidak ada dari diri Dira, ia putri seorang CEO yang terkenal di Milan dan Designer terkenal di Milan. Hanya mertua bodoh yang akan membuangnya begitu saja.

Perasaan singkat ini saja sudah bisa membuat Dira menahan sesak. Pertemuannya dan Daffa baru tiga hari, tapi Dira sudah mampu menaruh hati. Ini cinta, rasa suka, atau sekedar kekaguman? Daffa melambaikan tangannya kedepan wajah Dira, berharap itu bisa menyadarkan Dira dari lamuannya.

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan??"

"I.. Iya, hum kalau boleh tau. Apa yang harus saya lakukan buat bantuin Bos?" Daffa tampak berfikir sejenak.

"Datanglah kerumah saya malam ini, tunjukan diri kamu sebagai wanita yang berstatus pacar saya."

Ingin sekali Dira berteriak kegirangan didepan wajah Daffa. Bagaimana bisa Dira menolak ini. Datang kerumah calon mertua dan berpura-pura menjadi kekasih dari anaknya. Walaupun sebatas rencana, tapi itu sudah mampu membuat wajah Dira memerah.

Dira mengangguk dan segera keluar dari ruangan Daffa. Malam ini ia harus terlihat cantik dan mempesona didepan ibu Daffa. Mungkin saja itu bisa membuat Ibu Daffa benar-henar menyukainya. Ah, membayangkannya saja sudah mampu membuat degupan kencang di jantung Dira.

Pria setampan Daffa begitu memikat. Sudah banyak pria yang pernah bertemu dengannya, tapi belum ada yang seperti Daffa. Selain tampan, ia juga pintar dan bekelas. Wanita bodoh mana yang tidak akan jatuh hati padanya.

Rena?

Ck, sepertinya gadis itu yang akan menjadi saingan Dira saat ini.

"Tunggu gue AlDaffa Damarion," gumamnya disertai senyuman

****
23 januari 2019

My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang